https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=1934471363281412
#Maila 14
Terima kasih untuk admin yang sudah approve cerita saya, krisan yang mendukung akan sangat membantu.
“Hasilnya memuaskan.” Rais berkata dengan mata berbinar-binar. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat apa yang ia tanam menunjukkan perkembangan yang memuaskan.
Hasil memang tak pernah menghianati usaha. Lima ribu batang pohon cabenya tumbuh dengan subur. Beberapa malah memiliki buah yang lebih lebat dari daunnya. Tinggal menunggu waktunya panen saja. Semoga saja tak ada halangan dan berjalan dengan lancar.
“Timun, sawi , kisik dan sayuran lainnya pun sangat subur. Lihatlah, tak sia-sia kita sampai menginap di kebun ini berhari-hari tanpa listrik.” Wahib menimpali.
Rais tersenyum. Walau tak tahu untuk apa ia berjuang sekarang tapi ia senang, tetesan keringatnya tak sia-sia.
“Bibit cempakanya sudah ditanam?” Tanya Rais.
“Total sudah lima ratus batang yang ditanam disekeliling tanah ini.”
Rais tersenyum.
“Untuk apa sih nanam kayu cempaka di pinggiran lahan kita? Emang kamu mau jadi juragan kayu juga?” tanya Wahib.
“Untuk tabungan.”
“Maksudnya?”
“Kau tahu Wahib, di daerah asal ibuku, ada kebiasaan dimana setiap kelahiran anak maka ditandai dengan ditanamnya minimal seratus bibit pohon Cempaka.” Rais memulai ceritanya.
Wahib menyimak dengan seksama.
“Pohon-pohon cempaka itu dirawat dan ketika anak-anak mereka dewasa dan siap menikah, ditebanglah pohon-pohon itu untuk modal anak-anak mereka memulai kehidupan yang baru. Jadi di sana tidak ada istilah jual tanah kalau kepepet, yang ada jual kayu, dan tanahnya tetap jadi milik mereka.” Jelas Rais yang dibalas anggukan kagum Wahib.
“Harga satu kubik kayu cempaka sekarang sekitar dua juta per kubik. Satu pohon cempaka umur dua puluh tahunan, tergantung perawatan, dapat menghasilkan kira-kira satu sampai dua kubik per batang. Silahkan kau kali kan saja berapa harganya dua puluh tahun kemudian. “
“Wowww! Perhitungannya mantap. Kayaknya nanti ide ini akan aku tiru setelah aku menikah nanti.” Wahib berkata dengan mata membesar karena kagum.
Rais tersenyum.
“Jangan menunggu menikah dulu, tanam saja sekarang di pinggiran kebunmu biar tak mengganggu tanaman lain. Bibitnya murah berkisar dua sampai tiga ribu rupiah per batang.”
“Kamu enak banyak tanah, lah aku, masa nanamnya numpang di tanah kamu. Nantilah kalau ada uang lebih aku beli tanah dulu yang murah.”
“Nah itu ide bagus juga.” Rais menepuk bahu Wahib.
Sesungguhnya Rais sangat kagum dengan kehidupan Wahib. Walau berasal dari keluarga yang sangat sederhana, tapi dia berhasil menyelesaiakan kuliahnya dengan mengandalkan beasiswa dan kerja serabutan. Orangnya sangat gigih dan low profile.
Untuk ukuran seorang sarjana cum laude keinginannya untuk memulai sebuah usaha dari nol bersama Rais patut diacungi jempol. Dia tak malu untuk terjun langsung ke lahan atau ikut membantu pekerjaan pegawainya. Dan satu hal yang membuat Rais sangat cocok dengan Wahib, sesibuk dan selelah apapun dia, ketika suara azan memanggil maka ia akan langsung memenuhi kewajibannya itu. Sebisa mungkin pun ia selalu sholat di masjid. Bila kita ikut meramaikan rumah Allah maka Allah pun akan meramaikan kehidupan kita dengan hala-hal baik. Itulah prinsipnya.