https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=1917560764972472
#Maila 12
Terima kasih untuk admin yang sudah approve cerita saya, krisan yang membangun sangat dinantikan.
Hanafi tak dapat memejamkan matanya, rasa haru dan bahagia itu menjadi satu. Sudah sejak tadi Maila terlelap dalam pelukannya, gadis kecilnya, betapa bodohnya ia yang tak pernah menyadari bahwa kebahagiaan terbesarnya adalah ketika melihatnya bahagia. Ia terlalu jauh memburu rasa untuk membalut luka kehilangan Nabila, bukankah dengan melihat senyum Maila maka perih itu akan menguap. Memang terlambat, tapi ia akan memulainya, menjadi ayah yang baik untuknya.
Hanafi tak menyangka bila jatuh cinta punya rasa yang berbeda. Pada Nabila ia begitu mengagumi kesantunan dan kesabarannya, betapa ibu dari putrinya itu memperlakukannya layaknya seorang raja. Kehilangan Nabila seakan mematahkan semua sendi tubuhnya, meremukkan tulangnya. Ia merasa tak bernyawa ketika wanita itu pergi tanpa kata.
Naya sangat berbeda dengan Nabila, ia bukan tipe wanita yang akan membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajahnya biasa, tak ada yang istimewa, sungguh tak akan membekas di hati siapapun yang hanya beberapa saat mengenalnya. Sifatnyapun tak seramah isterinya dulu, ia hanya royal menebar senyum di hadapan Maila, selebihnya ada rasa terpaksa di setiap senyumnya. Siapa yang akan jatuh cinta pada wanita sepertinya?
Ketulusan hati Naya pada putrinya lah yang sempat mengetuk hatinya untuk belajar mencintai Naya, bukankah selama ini seorang ibu untuk Maila lah yang ia cari, dan ia sudah mendapatkannya. Ia akan memulai merajut rasa bernama cinta kalau saja egonya tak berontak kala melihat keadaan Naya. Ia belum yakin dapat menerimanya apa adanya, bahkan ketika ibunya dan Rais menanyakan tentang rasa cintanya pada Naya, ia selalu ragu akan rasa itu. Ia tak pernah yakin akan menerimanya, ia selalu merasa berhak mendapatkan wanita yang selalu ia impikan.
Lalu rasa apa ini? Adakah bentuk cinta lain dengan rasa yang berbeda juga? Mengapa selalu ada bayang wanita itu menari di kepalanya? Kenapa senyumnya terlihat lebih indah dari sebelumnya? Tak usah menyentuh, memandangnyapun menimbulkan getar lain bagi Hanafi, bahkan sekarang ia tak peduli bagaimanapun keadaan Naya. Pengakuan Rais telah menghantuinya, nasehat pak Mul telah menuntunya, ia takut kehilangan Naya. Bukan karena rupanya, bukan karena Maila, bahkan ia tak pernah tahu definisi yang tepat dari rasanya pada Naya, karena semua yang ada dalam dirinya terasa sangat mempesona.
Bahkan luka itu, betapa tiap goresan di tubuhnya membangkitkan rasa kagum dan haru, betapa ia sangat beruntung memperisteri seorang wanita tangguh itu. Adakah yang lebih mebahagiakan selain melihat dua wanita yang sangat dicintainya terlelap di sampingnya.
Hanafi mencium kening Maila, beberapa kali ia harus menyeka air matanya agar tak mengenai putrinya. Selalu ada rasa penyesalan setiap melihat wajahnya, betapa ia sangat berdosa sebagai orang tua.
Beberapa kali Hanafi harus menenangkan Naya yang menangis haru mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut gadis mungil ini. Ia tak sanggup menyembunyika air mata yang terus memaksa keluar, ketika mereka bertiga saling berpelukan. Saat itu, detik itu, ia mengukir janji, tak akan ada lagi air mata yang boleh mengalir dari sudut mata dua wanita ini, mereka harus bahagia dan itulah kewajibannya.
Alarm dari ponsel Naya berbunyi nyaring, isterinya itu mengeliat dan langsung duduk di tempat tidur.
“Untuk apa alarmnya? Ini baru jam empat subuh?” tanya Hanafi.
Naya yang masih mnegucek matanya tersentak. Ia menatap Hanafi dengan tatapan setengah tak percaya.
“Kita tidur bertiga?” tanya Naya gugup.
Hanafi mengangguk.
“Apa kau lupa kalau Maila yang meminta?”
“Oh, iya.” Naya terlihat salah tingkah. Ia meremas sisi bajunya.