https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=1907617049300177
#Maila 10
Terima kasih buat admin yang sudah approve cerita saya.
Mohon untuk berkomentar di kolom yang telah disediakan.
Krisan yang membangun sangat dirindukan untuk karya yang lebih baik.Bu Hajah menatap ke luar jendela, mobil yang dikendarai Muliadi supirnya itu baru saja membawa Naya dan Maila menempuh delapan jam perjalanan ke kota Palembang. Seharusnya Hanafilah yang akan mengantar mereka, tapi beberapa hari ini anaknya itu sangat sibuk, ada beberapa masalah pengiriman hasil panen ke beberapa minimarket yang harus ia cek. Kalau sedang sibuk seperti itu bu Hajah melihat tangan anaknya itu tak pernah lepas dari rokok. Seolah lintingan tembakau itu sudah menjadi bagian tubuhnya.
Jadwal konsultasi Maila sebenarnya tiga hari yang lalu tapi karena Naya masih sibuk merawat ayahya yang diopname, rencana itu harus tertunda. Setelah mengatur ulang jadwal dengan dokter di Palembang maka hari ini mau tak mau mereka harus berangkat, lusa dokter itu akan ada pelatihan ke Jakarta.
Bu Hajah menghirup teh manis kesukaanya. Merupakan suatu keharusan baginya untuk menabiskan satu gelas teh manis sebelum melakukan aktivitas di pagi hari. Ada yang kurang bila ia meninggalkan kebiasaan itu, mungkin ini sudah masuk dalam kategori candu. Sama halnya dengan kebanyakan orang Indonesia yang merasa tak makan bila belum makan nasi walau kenyataannya sudah menghabiskan satu mangkok bakso lengkap dengan mi dan sayurnya tapi tetap akan merasa belum makan bila belum mengkonsumsi nasi.
Bu Hajah teringat dengan percakapannya dengan Muliadi, supir yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya itu. Pada supirnya itulah ia sering bertukar pikiran. Sesungguhnya Muliadi adalah orang yang cerdas dan bijak, tapi kenyataan bahwa ia hanya mengenggam ijazah SD telah memangkas cita-citanya.
“Apa yang harus kulakukan Mul?” tanya bu Hajah setelah bercerita tentang percakapan antara Aisyah dan Wahib.
“Ceritakan dengan Pak Hanafi Bu, lebih baik ibu yang menceritakannya daripada ia tahu dari orang lain.”
Bu Hajah mengangguk, benar yang dikatakan Muliadi, cepat atau lambat Hanafi pasti mengetahui ini, daripada ia tahu dari orang lain yang mungkin ceritanya akan dibumbui sedemikian rupa lebih baik ialah yang mengatakannya. Persoalan ini sangatlah sensitif, bila tidak tepat cara penyampaiannya bisa jadi akan menjadi bumerang bagi rumah tangga anaknya. Harus disampaikan pada waktu dan oleh orang yang tepat.
“Kenapa melamun Bu?” Hanafi ternyata sudah berada tepat di samping ibunya itu.
Bu Hajah tersenyum.
“Duduklah Nak, ibu mau bicara.”
Hanafi duduk di samping ibunya dan langsung bersandar di bahunya.
“Ada pa Bu?”
Bu Hajah menatap putra kesayangannya ini dan membelai lembut kepalanya.
“Ini tentang pernikahanmu dan Naya.”
Hanafi membenarkan posisi duduknya, sepertinya ini pembicaraan yang serius.
“Kenapa kalian belum tidur sekamar Nak?” Bu Hajah bertanya dengan tatapan serius.
Hanafi terlihat salah tingkah, terus terang ia belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu.
“Ehhh pulang Naya dari Palembang kami tidur sekamar.” Hanafi menjawab setelah tak menemukan alasan yang tepat untuk terus tidur terpisah dengan Naya.
Bu Hajah tersenyum.
“Apa kau mulai mencintai dia Nak?”
Hanafi diam, ia bingung harus menjawab apa. Terus terang sudah ada rasa berbeda setiap kali ia melihat Naya isterinya itu. Sekilas orang yang melihatnya akan mengira bahwa tak ada yang spesial dari wanita itu, ia tidak tinggi hanya berkisar 155 cm saja dan cukup kurus untuk wanita seusianya. Warna kulitnya pun tidak seputih dirinya atau Maila, wajahnya pun biasa saja, standar wajah orang Indonesia kebanyakan. Tapi bila ia tersenyum, bila ia menatap dan bila ia berbicara maka segala macam teori tentang standar sebuah kecantikan akan terpatahkan. Semua pasti sependapat bahwa senyumnya sangat menawan, tatapannya teduh dan gaya berbicaranya membuat yang mendengar akan betah berlama-lama untuk menyimak. Apa ini yang dikatakan dengan inner beauty? Entahlah, Hanafi tak begitu paham.