https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=1900778206650728
#Maila 8
Terimakasih untuk admin atas approvenya.
Silahkan berkomentar dan memberikan kritik dan saran pada kolom yang telah disediakan.
Komentar dan krisan yang mendukung selalu meberikan energy positif bagi saya.Hanafi menatap puntung-puntung rokok yang telah memenuhi asbak di atas meja. Selama berada di kafe ini sudah lebih dari satu bungkus rokok ia habiskan. Beberapa kali Hanafi menghela nafas panjang. Sungguh pikirannya tak karuan. Beberapa pekerjaannya sedikit terbengkalai karena ia tak dapat berkosentrasi penuh. Sudah beberapa hari ini, sejak kejadian malam itu, hubungannya dan Naya kian memburuk. Bahkan kini ia tak pernah bertegur sapa dengannya lagi. Terus terang ini sangat mengganggu pikirannya.
Hanafi merasa tak ada yang salah dengan sikapnya waktu itu, itu merupakan hal yang wajar. Ia tak siap. Ia tak mengetahui keadaan Naya yang seperti itu sebelumnya, ini tak pernah ada dalam bayangannya. Terus terang sebagai seorang laki-laki ia kasihan dengan Naya tapi hal itu bercampur dengan rasa kecewa. Hanafi merasa dibohongi, tak ada yang mengatakan tentang keadaan Naya sebelumnya, bahkan ibunyapun Hanafi rasa tak mengetahui tentang hal ini. Hanafi merasa dibohongi. Sebagai seorang laki-laki ia rasa sangat wajar bila ia memimpikan memiliki seorang isteri yang cantik, itu bukan merupakan sebuah dosakan? Ia tak mempermasalahkan bila Naya tak secantik Nabila, toh ketulusannya merawat Maila telah menjadi nilai lebih, tapi keadaannya, entahlah, Hanafi merasa belum siap untuk menerimanya. Ada ego dan nurani yang bertarung di hatinya. Entahlah, mungkin sejauh ini ia belum mencintai Naya, mungkin ia perlu waktu.
Hanafi meneguk kopi hitam khas Pulau Beringin kesukaannya. Kopi yang berasal dari daerah yang berdekatan dengan perbatasan provinsi Bengkulu itu memberikan sensasi yang unik. Konon khusus untuk wilayah tersebut, buah kopinya lebih banyak dari daunnya, bahkan beberapa pohon kopi sampai tumbang karena tak kuat menahan beban berat buah yang sangat lebat.
"Hei Han, sendirian?"
Hanafi menoleh. Muslim rupanya.
"Iya, aku sedang tidak ada kerjaan," jawab Hanfi seadanya.
"Boleh aku duduk di sini"
Hanafi mengangguk. Sesungguhnya ia ingin sendiri.
Muslim langsung duduk di hadapan Hanafi.
"Selamat ya Han, kudengar kau telah menikah lagi."
"Iya, terima kasih."
"Kau tau Han, isterimu Khanaya, ia adalah siswaku dulu."
Hanafi membesarkan matanya. Muslim memang guru di SMA Negeri 1 Muaradua dimana Naya pernah bersekolah.
"Oh ya?" Hanafi bertanya.
"Iya, dia memang siswaku dulu. Malah aku pernah menjadi wali kelasnya ketika ia duduk di kelas sepuluh."
"Bagaimana Naya ketika SMA?" Hanafi bertanya, terbit rasa penasaran tentang bagaimana masa SMA isterinya dulu.
"Kamu beruntung Han. Aku tahu anak ini, dia luar biasa. Di sekolah dia merupakan siswa yang berprestasi, memang tidak selalu ranking satu, tapi selalu masuk tiga besar di kelasnya. Tapi Han, empat jempol rasanya tak cukup untuk menggambarkan ahlak anak itu. Dia sangat baik, sopan dan memiliki jiwa sosial."
"Ohh..." Hanafi dapat merasakan itu dari sikap Naya sehari-hari.
"Kau harus membahagiakannya." Muslim berkata lagi.
Hanafi tersenyum.
"Oke Han, aku permisi dulu ya, aku hanya mampir sebentar ke sini karena melihatmu, isteriku sedang belanja di toko sebelah, ia pasti sudah selesai." Muslim berpamitan setelah menjabat tangan Hanafi. Ada senyum tulus dari guru yang merupakan teman sekelasnya waktu SMA dulu.