#maila 7

9.8K 203 6
                                    

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10209491454841926&id=1792841035

#Maila 7

Hanafi dan ibunya duduk santai di teras rumah Rais yang walaupun tidak luas tetapi tertata sangat apik dan asri. Selain jejeran pot-pot besar yang tersusun rapi dengan bunga beraneka rupa, di dinding rumanya juga menempel tanaman hias hidup yang sepertinya terawat dengan baik. Rumah Rais letaknya di Pasar Tengah Muaradua, sebuah wilayah padat penduduk dengan rumah toko atau ruko mengapit di kiri dan kanan.

Hari ini sebenarnya Hanafi harus segera berangkat ke Pagar Alam, jarak tempuhnya sekitar sepuluh jam lebih dari Muaradua, ia harus mengecek mini marketnya di sana. Ketika akan pergi ibunya sengaja memintanya untuk mampir ke rumah Rais bersamanya dulu, sepertinya ia masih tak enak hati dengan keputusan Rais yang memutus kerja sama dengan anaknya. Pembicaraan lewat telfon dianggapnya kurang memuaskan hati.

“Wah tumben pagi-pagi sudah datang Bi.” Ibu Rais menhampiri dan langsung menyalami kedua tamunya.

“Iya nih mbak, ibu kangen,” jawab Hanafi.

“Apa kabar Bi? Sehat?”

“Baik, kalian sekeluarga sehat?”

“Alhamdulilah.”

“Mana Rais? Bibi juga kangen padanya.”

“Anak itu setelah sholat Subuh tadi langsung pergi ke kebun dengan Wahib temannya itu Bi. Entah apa yang ia kerjakan, sepertinya sibuk sekali.” Ibu Rais menjelaskan.

“Rajin sekali anakmu itu Tin.”

“Iya, anak itu memang tidak banyak tingkah. Dari sekolah dulu memang sudah rajin.”

“Begini Tin, ini tentang Rais. Ada yang mengganjal di hati bibi tentang anakmu itu, soal alasannya menghentikan kerja sama dengan Hanafi. Bibi merasa tak enak hati. Apa mungkin ada kata-kata Hanafi yang menyinggung perasaan Rais sehingga dia gak mau kerja sama lagi. Kamu tahu kan, Hanafi ini kadang kalau ngomong ceplas-ceplos.” Ibu Hanafi menjelaskan.

“Iya mbak, saya juga merasa agak sedikit aneh dengan keputusan Rais yang terkesan mendadak ini. Padahal saya sangat terbantu dengan kehadiran Rais, anaknya rajin dan sangat amnah,” sahut Hanafi menimpali.

“Waduh kok jadi serba gak enak begini sih.” Ibu Rais tertawa renyah diiring tawa yang lain.

“Sebenarnya saya sebagai ibu juga heran, beberapa kali saya sudah bertanya dengan Rais tentang alasannya ini tapi jawabanya tetap sama Bi. Ia ingin mencoba membuka usahanya sendiri tanpa bantuan siapaun. Jangankan Hanafi yang cuma omnya, kami orang tuanyapu tak diizinkan membantunya. Anak itu kalau sudah ada kemauan sangat gigih untuk menggapainya dan prinsipnya itu lo teguh sekali. Sampai-sampai dia jual mobilnya sendiri untuk modal usaha.”

“Masya Allah Tin, aku kagum benar dengan ankmu itu, masih muda kok ya sudah punya kemauan yang tinggi dan prinsip yang kuat. Kamu beuntung punya anak kayak Rais.”

“Alhmdulilah Bi, alhamdulilah.”

“Liat tu Hanafi, ibu yakin suatu saat nanti, Rais pasti akan jadi pengusaha yang hebat malah lebih hebat dari kamu. Seusia Rais dulu kamu mana kepikiran untuk mulai usaha pakai modal sendiri, ibu ini yang bolak-balik memaksamu untuk mulai merintis usaha, kalau gak dipaksa mana bisa usahamu bisa sebesar ini coba?”

Hanafi tertawa mendengar celoteh ibunya, dengan segera ia langsung memeluk ibunya.

“Itulah enaknya aku mbak, punya ibu hebat kayak ini. Kalau tidak karena ibu, mana mungkin aku bisa seperti sekarang.” Hanafi beberapa kali mencium pipi ibunya yang disambut cubitan gemas ibunya.

mailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang