https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=1911095118952370
#Maila 11
Terima kasih untuk admin atas approve nya.
Hanafi mencium Al-Quran yang baru saja dibacanya. Entah kapan terakhir kali ia menyentuh kitab suci ini, ia tak ingat, mungkin saja ketika Nabila isterinya masih hidup. Sudah cukup lama ia tak melantunkannya walau hanya se ayat, ia lebih suka larut dalam kesibukan bersifat duniawi saja. Untuk sholatpun, kecuali Magrib, ia hampir tak pernah tepat waktu, selalu melaksanakannya di ujung waktu, bahkan bila di perjalanan ia pun tak segan untuk melalaikan. Hanya saja, selalu ada rasa yang hilang setiap ia sengaja mengabaikan panggilan sang pencipta.
Ini adalah sholat Subuh terkhusuk yang pernah ia lakukan. Ia sangat menghayati ketika imam melantunkan ayat demi ayat, tak terasa air matanya jatuh tak tertahan. Kotor, itulah yang ia rasakan.
Hanafi tiba di Palembang jam sepuluh malam. Berkali-kali ia menelfon Naya untuk mengetahui dimana kos an Aisyah berada, ia ingin menjemput Naya dan putrinya, tapi seperti biasa isterinya itu tak menjawab telfonnya. Mungkin saja ia sudah tidur atau seperti biasa lupa menaruh ponselnya. Untung saja ada pak Mul yang mengantarnya ke kos an Aisyah.
Cukup lama Hanafi dan pak Mul menunggu di depan pagar kos an sahabat isterinya itu, mereka tak berani masuk karena laki-laki memang tak diperbolehkan memasuki area khusus wanita itu, satpam di sanapun tak memberikan izin karena waktu berkunjung sudah lewat dan entah kenapa ia bersikeras ingin menunggu di sana saja dari pada ke hotel.
Beberapa kali pak Mul membujuknya untuk menginap di hotel saja dari pada harus menunggu di dalam mobil. Laki-laki yang sudah lama mengabdi pada ibunya itu akhirnya menyerah dan menemani Hanafi tidur di dalam mobil. Hal yang sangat aneh pikirnya.
Pak Mul dan Hanafi melaksanakan sholat Subuh di sebuah masjid dekat kampus Aisyah. Sebuah masjid yang sangat nyaman dan luas. WC dan tempat berwudunya pun sangat bersih dan wangi, inilah yang harusnya selalu kita jumpai di setiap masjid.
Semalaman bersama pak Mul di dalam mobil, bertukar pikiran dalam segala hal akhirnya membuat Hanafi menyadari inilah alasan mengapa ibunya sangat menyaangi supirnya itu seperti anak sendiri. Lelaki yang hanya tamatan SD ini ternyata sangat bijak dalam menanggapi setiap keluh kesah Hanafi. Tak heran bila akhirnya ia dapat sangat terbuka padanya.
“Aku habis berkelahi dengan Rais Pak,” sahut Hanafi ketika setelah lewat tengah malam mereka masih belum bisa tidur.
Pak Mul menyimak dengan seksama, kebiasaanyalah yang tak mau berkomentar bila tidak diminta. Ada kalanya orang hanya ingin didengar saja.
“Aku tak tahu mengapa aku sangat emosi ketika anak itu menyatakan bahwa ia mencintai isteriku. Aku merasa ia telah menginjak harga diriku. Ia pun mengatakan itu seperti tak ada rasa bersalah, seolah itu adalah hal yang wajar.” Hanafi melanjutkan ceritanya.
Pak Muliadi menepuk pundak Hanafi berarap ada ketenangan dari sentuhannya.
“Walau bagaimanapun juga Naya itu isteriku dan ia harus menghormai itu! Kami berkelahi, dan Bapak bisa lihat wajahku penuh dengan lebam dan bibirku sedikit robek, karena itulah aku tak mau pulang ke rumah dan menyusul Naya dan Maila ke Palembang. Aku bingung harus bercerita apa pada ibu tentang luka ini.”
“Baguslah Pak, saya juga takut bu Hajah kepikiran bila melihat wajah Bapak.”
“Rais adalah keponakan yang sangat kusayang Pak. Aku selalu terkagum-kagum mendengar cita-citanya yang menurutku sangat menakjubkan untuk ukuarn laki-laki seusianya. Pemikirannya sangat maju ke depan, ia sangat berprestasi di sekolah tapi rela meninggalkan pendidikan formalnya demi menggapai impiannya, aku selalu kagum, bagaimana mungkin anak muda yang selalu sholat di masjid itu bisa berfikiran sangat dewasa melebihi umurnya.” Hanafi menarik nafas member jeda pada tiap kalimat yang disampaikan.