https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2010805285648019
#Maila
#Bukan_Sambungan_Maila#Toleransi
Assalamualaikum. Terima kasih untuk admin yang telah berkenan tulisan ini tayang di KBM. Semoga kebaikan selalu menyertai langkah kita, aamiin ya Allah.
Naya mengamati sebuah surat undangan berwarna merah muda berbingkai emas. Maharani dan David, sebuah nama yang terukir mengikat janji pada selembar kertas penebar kabar bahagia itu.
Dialah Maharani, seorang wanita dengan tubuh mungil, rambut lurus dan senyum tulusnya. Walau ayahnya asli Batak tapi darah Jawa dari ibunya sangat melekat sehingga tutur katanya sangat halus dan tertata. Matanya bulat dan selalu berbinar bila bercerita tentang hal yang ia suka. Naya suka semua tentang dia, caranya berbicara, senyumnya, dan tentu saja keramahan sikapnya pada siapapun. Dan sifat terakhirnya itulah yang mempertemukan mereka dulu.
Azan Ashar sudah berkumandang dengan merdunya. Alunannya sangat syahdu sehingga umat Nabi Muhammad manapun tak akan kuasa menolak udangan Nya untuk bertamu, menghadap dan memuji keagungannya. Naya tahu siapa pemilik suara indah itu, siapa lagi jika bukan Rais si ketua OSIS. Semua siswa di SMA ini pasti mengenal karakter suara lembut itu. Suara yang juga dalam diam selalu ia kagumi.
Sebagian besar siswa sudah pulang ke rumahnya masing-masing, hanya sebagian yang memiliki tugas tambahan saja yang masih sibuk dan bertahan di sekolah. Naya lah salah satunya.
Ia ingin sekali bergabung dengan jamaah lainnya, sholat Ashar berjamaah di masjid sekolah. Pahalanya bukan satu atau dua kali lipat, dua puluh tujuh kali lebih mulia dari sholat sendirian.
Kemana ia harus menitipkan laptop sekolah dan uang kas ROHIS ini? Tak mungkin ia harus membawa semua barang ini selagi berwudhu. Dimana pula temannya yang lain, mungkin saja mereka telah duluan ke masjid.
Disaat itulah Maharani datang. Dengan senyum khasnya ia menyapa Naya yang tampak bingung.
“Bergegaslah wudhu Nay, biar aku yang menunggu semua barang-barangmu ini. Nanti kamu ketinggalan.” Gadis manis itu berkata.Naya sedikit bingung, tapi melihat anggukan Maharani meyakinkan, barulah ia bergegas melepas sepatunya.
“Terima kasih ya,” sahut Naya.
Maharani mengangguk dan seperti biasa tersenyum lagi, “aku akan menunggu di teras ini,” sahutnya lagi.
“Terima kasih ya Ran,” sahut Naya di teras masjid sore itu. Ada raut lega terpancar di wajahnya setelah terbasuh wudhu dan menunaikan kewajiban.
“Tak apa, aku senang melakukannya kok. Lain kali kalau tak ada yang menunggui barang-barangmu bila ingin sholat, panggil aku saja.” Gadis ini tersenyum lagi.
“Aku jadi gak enak menyusahkan,” sahut Naya.
Maharani menggeleng. “Aku memang mencarimu tadi.” Ia menatap Naya.
“Ada apa?”
“Apa boleh aku bergabung dalam kegiatan sosialmu, aku suka membantu, tapi aku tak yakin akan diterima.”
“Tentu saja boleh, emang ada masalah apa? Ini kan kegiatan amal, semakin banyak yang membantu semakin bagus dong.”
“Tapi kau tahu kan aku berbeda, maksudku kegiatanmu berkaitan dengan ROHIS dan aku, kau tahu kan,” Maharani mengernyitkan keningnya.
Naya tersenyum. Akhir-akhir ini ia memang menggiatkan kegiatan sosial yang intinya membangkitkan rasa kepedulian remaja yang perlahan mulai pudar. Semua kegiatan yang berbau amal ia terlibat, mulai dari gerakan peduli anak yatim, bantuan korban bencana alam, peduli lingkungan dan semuanya. Ia pun ditunjuk sebagai koordinatornya.