Sudah empat hari semenjak Prilly telah siuman Ali tidak pernah absen membawakan buku-buku yang bisa gadis itu pelajari. Tadinya Prilly memaksakan kehendak untuk segera pulang kerumah, tapi justru dokter lebih menekankan agar Prilly tetap dirawat satu minggu kedepan sampai kondisinya pulih seratus persen.
"Sin tiga puluh berapa?"
"Eum, berapa yah.. Oh itu, setengah!"
"Good job!"
"Cos sembilan puluh?"
Prilly mencoba berpikir lebih fokus lagi. Ya Tuhan, mengapa rumus-rumus yang terhapal diluar kepala menjadi begitu rumit? Benaknya bertanya-tanya.
"Ngg-i-itu, aduh berapa sihhhh. Eum... nol bukan?" jawabnya tepat meski membutuhkan waktu satu menit lebih.
"Iya bener. Bagus-bagus," puji Ali sembari mengacak rambut Prilly. "Pelan-pelan aja, gua tau lu kurang konsentrasi gara-gara benturan dikepala lu. Untung aja nggak lupa sama gua,"
"Tadinya sih pengen gue lupain. Tapi orang yang bentokin gue nanggung-nanggung,"
"Dih apaan sih ngomongnya. Gua pites lu kayak kutu," omel Ali.
"Biarin, lo ngeselin sih!" cibir Prilly sembari tertawa kecil.
"Yaudah, sekarang tan 60 berapa?"
"Seperti- eh itu deh akar tiga, bener nggak?"
"Ya, good job!"
"Nah sekarang tentukan nilai tan seratus lima puluh coba!" seru Ali.
Prilly mulai menempelkan ujung pena pada buku baru yang sengaja Ali bawakan, kemudian mulai menyusun rumus dan mulai menghitung perincian dari pertanyaan Ali.
"Tan seratus dua puluh, berarti.. aduh berapa sihhh tuh yang dikurang sama seratus dua puluhnya," sungguh Prilly tak mengerti, padahal meskipun ia pernah menjadi anak nakal karena suatu keadaan, tapi Prilly tak pernah melupakan pelajaran yang pernah guru-gurunya ajarkan karena selalu ia simpan dengan baik didalam lemari otak. Tapi semuanya kini terasa rumit, otaknya tiba-tiba nyeri setiap kali dipaksakan untuk berkerja atau mengingat.
"Argh!" ringisnya sambil memegang kepalanya sendiri.
"Yah kambuh lagi? Udah deh belajarnya sampe disini aja, lanjut besok lagi," ujar Ali khawatir.
"Ga-gapapa kok gue bisa. Sini balikin buku tulisnya," tangannya ingin meraih kembali buku yang sudah terisi perhitungan yang belum terselesaikan, tapi Ali melarang keras hingga menjauhkan buku tulis tersebut dari jangkauan Prilly.
"Ada waktu besok, sekarang istirahat ya.." sarannya.
"Tapi lomba cerdas cermat diselenggarain empat hari lagi, Li. Gue nggak bisa diem aja kalo gue nggak bisa konsentrasi kayak gini, emangnya lo mau liat gue kalah?" matanya berair, tapi mampu gadis itu tahan sampai sudut kelopak matanya. "Gue mau kayak dulu lagi.." lirihnya.
"Iya gua ngerti. Tapi masa iya lu nggak mau ngertiin diri lu sendiri? Lu mau lupa ingetan selamanya?" kata Ali menakut-nakuti.
"Ya nggak lah!" Prilly membuang pandangannya.
Ali tertawa kecil melihat wajah menggemaskan Prilly ditengah cemberutnya, "Muka lu lucu kalo ngambek gini. Jadi pengen-"
"Pengen apa?!" tanyanya sambil melempar tatapan tajam tapi menahan tawa.
"Pengen apa ya?" pria itu malah berbalik tanya. "Pengen apa?" tanya Ali lagi.
"Nggak tau!"
"Dibilang jangan cemberut. Nanti gua... eum... gua cubit pipi lu yang udah kayak bakpao gitu hahaha," ujarnya ragu, seperti ada kalimat lain yang hanya terucap dalam benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Best(girl)Friend
Fanfiction[SELESAI] Jangan patah semangat, cukup gue aja. Gue tahu ini cara bodoh dengan lari dari kesulitan dan ninggalin semuanya, tapi gue harap kalian ngerti. Semoga kalian nggak pernah berada di posisi gue. Biarin semua kesedihan gue kubur bareng kepergi...