Prilly turun dari taxi masih dengan air mata yang tidak mau berhenti juga, dadanya masih kembang kempis menahan sesak. Ia berlari menuju rumahnya. Di depan pintu, sebelum masuk ia hapus dulu air matanya itu, takut dilihat oma yang nantinya pasti akan bertanya macam-macam.
Nihil. Hasilnya berbanding terbalik, oma tidak terlihat disini. Hanya ada botol kecil transparan berisi obat-obatan milik oma diatas meja.
Entah apa yang Prilly pikirkan sambil menatap obat-obatan itu dengan sendu. Lalu ia melangkahkan kakinya dengan begitu berat, mengambil obat-obatan tersebut dengan erat dan tiba-tiba jantungnya terpompa begitu cepat.
Air matanya jatuh lagi tanpa permisi. Tanpa berpikir panjang Prilly berlari menaiki tangga menuju kamarnya, bahkan ia tidak memperdulikan tas miliknya yang terjatuh di lantai bawah.
BRUK!
Prilly membanting pintu kamarnya dengan sangat keras, lalu menguncinya agar tidak ada siapapun yang masuk.
Oma yang ternyata sedang mengambil segelas air putih untuk meminum obat jantungnya secara rutin jadi terkejut dan hampir menjatuhkan gelasnya karena mendengar suara dobrakan pintu dari lantai atas.
"Pril, udah pulang?" tanya oma sedikit berteriak.
Tidak ada jawaban. Jadi oma pikir yasudah, mungkin cucunya itu lelah sepulang dari jalan-jalannya. Lalu wanita paruh baya itu kembali ke ruang keluarga. Sampai disana ia bingung, dimana obat-obatan miliknya? Padahal tadi ia letakkan diatas meja itu.
"Lah, kemana obatku?" oma bertanya-tanya.
"Argh!!"
Mendengar teriakan yang begitu keras dari lantai atas membuat jantungnya seolah jatuh dari tempatnya, oma jadi takut sekaligus panik. Ia tidak memikirkan lagi dimana obatnya karena ia tahu ada yang sedang tidak beres dengan Prilly.
"Pril, kenapa? Prilly!" teriak oma. Setelah meletakan gelas tersebut ke atas meja ia langsung berlari sebisanya menuju kamar Prilly untuk melihat ada apa dengan cucunya itu.
Kakinya terasa lemas, jantungnya juga tiba-tiba terasa nyeri karena terkejut. Oma sempat melihat tas Prilly tergeletak dilantai, pun ia tidak mempedulikannya.
Oma sampai didepan kamar Prilly dengan tenaga yang tersisa. Sial. Pintunya dikunci.
Tok Tok Tok!
"Pril, buka, nak!!" teriak oma. Tak ada jawabnya selain isak tangis yang terdengar sangat pilu, oma jadi semakin panik dan terus menggebrak pintu kamar bercat putih itu.
Tok Tok Tok!
"Pril, buka Masya Allah. Ada masalah apa? Cerita sama oma," oma semakin gemetar, tak tahu harus berbuat apapun lagi. Ingin mendobrak mana kuat.
"Oma, pergiii! Nggak usah pikirin Prilly hiks hiks, semuanya nggak ada yang bisa ngertiin aku sedikitpun. Oma pulang aja ke papa hiks hiks, karena abis ini nggak ada yang bisa jagain oma lagi," suaranya terdengar bergetar.
"Kamu ngomong apaan sih?! Pril buka nggak pintunya," perintah oma.
"Aku capek, oma, hiks hiks. Maafin Prilly.."
Prilly memgambil segelas air putih bekas sore tadi yang belum sempat ia minum, kemudian membuka tutup botol transparan berisi obat-obatan itu dengan cepat. Lalu, tanpa jeda ia menegakkan ujung botol hingga semua obat berjatuhan kedalam mulutnya. Dengan susah payah ia menelan obat berukuran sedang itu sekaligus, kemudian ia paksa dengan meminum air putih hingga semuanya tertelan.
Beberapa detik kemudian kepalanya terasa pening. Sungguh, dunia seperti berputar tiga kali lebih cepat. Prilly menjatuhkan tubuhnya ke lantai, menjatuhkan pula botol kosong beserta gelas itu sampai pecah. Perutnya terasa seperti di remas-remas dan sakit di kepalanya semakin menjadi, lalu tiba-tiba ia merasa sangat mual.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Best(girl)Friend
Fanfiction[SELESAI] Jangan patah semangat, cukup gue aja. Gue tahu ini cara bodoh dengan lari dari kesulitan dan ninggalin semuanya, tapi gue harap kalian ngerti. Semoga kalian nggak pernah berada di posisi gue. Biarin semua kesedihan gue kubur bareng kepergi...