20. A Pile of Wounds.

5.7K 697 41
                                    

"Ma, tungguin aku!"

"Maaf, sayang, mama nggak bisa.."

Gadis itu menatap seolah berucap melalui sorot matanya dengan sendu, "Alesannya kenapa aku nggak boleh ikut?"

"Belum waktunya.."

Bola matanya membulat sempurna, menatap lurus ke atas langit-langit bercat putih. Mesin EKG yang tadi terdengar ngilu karena detak jantungnya tiba-tiba menghilang sekarang terdengar normal menenangkan.

Dokter Jasmine -yang selama ini menangani Prilly selama koma beserta perawat yang tadi terlihat panik kini mengucap syukur, padahal tadi mereka sudah putus asa dan yakin bahwa Prilly tak bisa diselamatkan.

Dokter Jasmine menatap Prilly heran, sebab sedari bangun tadi Prilly hanya melamun menatap langit-langit tanpa berkedip. "Syukur kamu bisa melewati masa kritis, Prilly," ucapnya mengajak Prilly bicara.

Bukan berucap, justru Prilly menjawabnya dengan setetes tirta yang jatuh tanpa permisi dari mata indahnya. Dokter Jasmine tambah bingung dan saling melempar tatap penuh tanya kearah perawat yang membantunya.

Prilly mulai menggerakkan jemari tangannya yang sudah terasa kaku karena lama tak digunakan, mengarah ke oksigen yang terasa panas di saluran pernapasan lalu ia melepasnya. "Kamu siapa?!"

"Saya Jasmine, dokter yang menangani kamu," jawab Dokter Jasmine. Setelah mendengar jawaban itu, Prilly langsung menatap kedua tangannya, kemudian merabanya sampai pada wajahnya sendiri.

Air matanya jatuh lagi, ia meremas rambutnya sampai berantakan lantas memeluk dengkulnya sendiri dan menenggelamkan wajahnya disana. Prilly kecewa, sangat terpukul. Di dalam hati ia berteriak, "Kenapa gue belum mati?!"

"Mbak, kenapa?" tanya dokter Jasmine. Ia berusaha mendekat dan mengelus pundak Prilly, mencoba untuk menenangkannya karena tidak baik untuk kesehatannya.

"Mbak.."

"Dokter! Kenapa dokter selamatin saya? Kenapa dokter nggak bunuh saya aja? Hiks hiks. Bunuh saya, dok, bunuh saya hiks hiks. Kenapa saya nggak mati aja? Matiin saya--"

"Sus tolong pegangin tangannya. Itu.. itu jangan sampe di lepas infusannya," dokter Jasmine panik sendiri melihat Prilly mengamuk meminta dilenyapkan, ia heran mengapa gadis ini justru memilih mengakhiri hidupnya. Padahal kalau dipikir-pikir sayang sekali, ia cantik dan banyak yang menyayanginya karena dokter Jasmine selalu melihat nenek dan teman-temannya tidak pernah absen menjenguk ke rumah sakit.

"Arghhh hiks hiks. LEPASIN SAYA! BIARIN SAYA MATI HAHAHAHA," Prilly berontak tak karuan dan tiba-tiba tertawa tanpa sebab, perawat itupun sampai kuwalahan. Untung dokter Jasmine buru-buru menyuntikkan obat penenang sehingga berefek setengah sadar. Masih nampak air mata yang berjatuhan dari matanya, bahkan dokter Jasminepun ikut iba melihatnya. Pasti ada masalah yang membuat gadis ini memilih putus hidup, pikirnya.

Telapak tangannya terasa dingin dan pelipisnya berkeringat, semua kepahitan hidup menjelma ke dalam mimpinya. Semua, tidak ada yang tertinggal. Bahkan tak ada secuil kebahagiaan dalam hidupnya yang masuk ke dalam mimpi.

"Pril. Prilly. Bangun.. lo kenapa?" melihat reaksi Prilly yang terlihat ketakutan, Beby mencoba membangunkan Prilly pelan-pelan.

Setelah matanya berhasil terbuka, yang ia rasakan masih tetap sama. Kekecewaan. Prilly merubah posisinya menjadi duduk dibantu dengan Beby, dan ia hanya menatap Beby sekilas kemudian memalingkan lagi pandangannya lurus ke depan. Tidak ada bahan pembicaraan yang mampu memecahkan keheningan disini, bahkan deru napas dari masing-masing mereka bisa mendengarnya.

Ex Best(girl)FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang