Setelah mendapat panggilan masuk dari Prilly dengan nada bicara diiringi isakan, Ali buru-buru menyusul ke tempat dimana tadi Prilly katakan. Jantungnya berdegup tak karuan, otaknya berpacu pikiran negatif tentang keadaan Prilly disana, ia hanya takut terjadi sesuatu pada gadis itu karena sungguh, nada bicaranya di telepon barusan terdengar pilu.
Ali memberhentikan mobilnya tepat didepan drug and cosmetic store, dengan cepat ia melepas sabuk pengaman dan melompat ke aspal. Ali celingak-celingukan mencari keberadaan Prilly, mengedarkan pandangan mengelilingi isi toko tersebut tapi tidak menemukan Prilly sama sekali disana. Saat langkahnya segera beranjak untuk masuk ke dalam toko, lebih dulu ia menemukan seseorang yang dicarinya sedang merengkuh tubuhnya sendiri dan menenggelamkan kepalanya diatas dengkul, tepat didepan mobil Ali yang terparkir.
Tubuh gadis itu bergetar menahan lirihnya suara agar tidak didengar siapapun, tapi isakan tak mampu disembunyikan dari siapapun. Tanpa basa-basi Ali langsung menghampiri Prilly, mengangkat wajahnya dan menangkap kesedihan yang sama persis seperti tahun lalu. Dulu karenanya, tapi sekarang karena orang lain.
"Why? Who made you cry?" bertumpuk pertanyaan langsung Ali berikan pada Prilly, tapi bukannya menjawab justru air mata Prilly malah semakin pecah saja.
Wajah Prilly sudah tidak karuan akibat dipenuhi air mata. Saat tangan Ali menggenggam tangan Prilly, dingin menyeruak dan bisa dirasakan jua oleh Ali, maka dari itu Ali segera menarik Prilly masuk ke dalam mobil karena cuaca sedang tidak bagus karena tiba-tiba gerimis kembali berjatuhan ke bumi.
Di dalam mobil, Prilly masih tak kunjung mengeluarkan suara selain isakan. Retinanya memandang embun yang tercipta karena sejuknya udara diluar sana. Ucapan Ali sama sekali ia tidak respon, karena mulutnya tak mampu berucap sepatah kata lagi setelah bungkam melihat kejadian buruk yang baru saja ia alami.
Akhirnya tangan Ali angkat bicara, mengelus rambut Prilly yang agak lepek karena terkena percikan gerimis tadi. "Kenapa sih, Pril?"
Telapak tangan Ali yang menempel dikepalanya seolah menjadi api unggun yang menghangatkan hati, dan pada akhirnya Prilly mau menoleh dan menatap mata Ali penuh penderitaan. Kemudian dalam hitungan detik Prilly berhambur memeluk tubuh Ali, menempelkan telinga kanannya tepat di dada pria itu hingga ia bisa mendengar detak jantungnya.
Nyaman.
Sepatah kata yang mendeskripsikan dirinya.
Tuhan, mengapa semuanya terasa rumit? Ia merasa bahwa hidup terkadang aneh, cinta juga, seolah semuanya sengaja dipermainkan. Dahulu Prilly begitu mencintai Ali, kemudian membencinya, saat ia mulai memilih cinta lain, ia dibuat benci lagi, dan sekarang seolah ia di tarik ulur untuk kembali pada cinta pertama yang pernah mengkhianatinya.
Napasnya berhembus damai meski sesekali masih sesegukan, air matanya masih menetes walau tak bersuara. Dan kaos yang dikenakan Ali terlihat lepek akibat air mata gadis itu.
Jujur mau setangguh apapun seorang wanita, mau ia seorang pemberani yang kuat, jagoan, pandai berperang, tapi jika sudah dipukul hatinya tak mampu menahan tirta dimata. Aneh kan? Tapi memang begitu, karena wanita punya porsi tersendiri untuk beberapa hal yang tidak bisa disamakan dengan pria.
Ali meletakan dagunya diatas kepala Prilly, mengelus punggungnya yang masih bergertar dan mengepal tangannya yang masih terasa seperti es. Tak sengaja ia melihat memar dikening Prilly tambah membiru, bahkan agak sedikit membengkak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Best(girl)Friend
Fanfiction[SELESAI] Jangan patah semangat, cukup gue aja. Gue tahu ini cara bodoh dengan lari dari kesulitan dan ninggalin semuanya, tapi gue harap kalian ngerti. Semoga kalian nggak pernah berada di posisi gue. Biarin semua kesedihan gue kubur bareng kepergi...