II

354 98 20
                                    

Semuanya berjalan dengan cepat.

Ketika tangannya yang terbungkus sarung tangan karet menariknya, membuat tubuh itu bergesek di atas lantai. Ketika tatapan manik kelabu itu bergetar, berselubung euphoria gila malam.

Wanita itu tidak pernah dimabuk asmara, hanya permainan yang terus berjalan di kepalanya.

Connor masih ingat sekali malam itu. Sunyi, hanya ada detak jam dan jantungnya yang bergema, tidak harmonis.

Tidak, ia tidak menyalakan televisi. Majalah kecantikan di meja kopi ruang tengah juga ia abaikan. Ia menyantaikan tubuhnya di atas sofa, menyejajarkannya hingga kakinya menjuntai ke bawah karena tinggi badannya lebih panjang dibanding sofa. Ia tidak mengenakan kacamatanya, jadi ia hanya memperhatikan kelap-kelip lampu di luar jendela yang sesekali terhalang ranting pinus.

Ia tidak bisa tidur, ia diperintahkan untuk tidak tidur malam itu--wanita itu yang memerintahkannya.

Perapian yang terletak di sisi ruangan tidak ia nyalakan. Connor dapat melihat uap keluar dari mulutnya tiap ia bernapas. Ia benci hawa dingin yang menyelubunginya, tetapi hanya itulah satu-satunya cara agar ia terus sadar.

Bahkan lampu yang selalu ia nyalakan dimatikan. Ia tidak pernah nyaman dalam kegelapan. Semua orang tahu ketidaknyamanan membuat seseorang akan terus terjaga.

Ketika cahaya menembus kerangka jendela dan menerpa wajahnya, ia terbangun. Derum mobil ibunya membuat detak jantungnya kembali ke tempo yang benar.

Ia tahu itu salah. Seharusnya ia tidak tenang ketika ibunya datang.

Apakah ia sudah terbiasa?

Konyol. Connor mengepalkan tangannya seraya beranjak dari sofa. Kepalanya terasa sangat ringan, ia tidak ingin di sana saat itu. Harusnya ia di kasurnya, memikirkan rumah mana yang ia harus bobol besok atau sesuatu yang lebih baik, seperti mimpi basah misalnya. Namun tangannya tetap menggapai kunci yang tergeletak di samping tumpukan majalah, membukakan pintu untuk ibunya.

Wanita itu berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sudah ia duga. Pupilnya melebar, Connor tidak menyukainya, wanita itu terlalu bersemangat. Pemuda itu langsung melangkah ke sampingnya, tidak ingin menghalangi jalan sang pemilik rumah.

"Itu...." Connor meneguk ludahnya. Ibunya membawa sesuatu yang tak pernah ingin ia pikirkan isinya.

"Kunci pagarnya, pintunya, dan nyalakan lampunya. Demi Tuhan, kau bukan kelelawar, Cone." Wanita itu terus menarik karung yang ia bawa, masih mengenakan high heels.

"Tidak mungkin, itu Aidan?" Connor menatap bahu ibunya yang terus naik dan turun. Terdengar jelas napas wanita itu memburu, dan pasti ia akan berteriak kepadanya apabila ia masih mempunyai kekuatan.

Namun ibunya hanya mendecak, berbisik pelan, "Kau saja."

Connor keluar dari sana, menarik pagar besi rumahnya, menggemboknya. Dengan langkah lebar ia kembali masuk, mengunci pintu dari dalam.

"Tangkap."

Pemuda itu berbalik, mendapati sepasang sarung tangan karet melayang ke arahnya. Ia menangkapnya.

"Kusarankan kau tidak menggunakan kacamata."

"Aku tidak menggunakannya sekarang."

"Bagus."

"Buka pintu bawah tanah, sekarang." Wanita itu mengembuskan napas panjang. "Aku sudah menunggu-nunggu saat ini."

Connor hanya dapat menurutinya. Awalnya ia pikir malam itu akan seperti malam lainnya. Namun tidak.

I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang