III

323 86 5
                                    

"Kau sudah di rumah dari tadi?!"

Suara pintu terbuka kuat-kuat membuat Connor tersentak bangun. Ia baru sadar ia tertidur. Layar laptop di hadapannya sudah mati. Berapa lama ia tidur? Ruangannya terang benderang, padahal lampu sudah ia matikan agar ibunya tidak mengganggu. Sepertinya cara FakeDoc tidak mempan untuknya.

Pemuda itu membalikkan kepala, mendapati ibunya yang kini berwajah kusut. Kedua tangannya terkepal, Connor yakin. Wanita itu menghampirinya dengan langkah terburu-buru, menarik kursi yang diduduki anaknya hingga kepalanya membentur lantai.

Connor mengerang kesakitan, tetapi ibunya malah berjongkok di sisinya, memberikannya tatapan kesal. "Kau sudah membeli barang itu?"

Pemuda itu menyipitkan mata. Mendadak sekelilingnya buram. "Sudah, aku sudah menaruhnya di kamarmu."

Sebuah tangan kecil memukul bahu Connor. "Aku ibumu," ujarnya, muak dengan tingkah laku anaknya sendiri. "Sudah telat, tidur, tidak punya sopan santun pula. Kau pikir kau ini siapa?!"

Lagi, erangan keluar dari mulut anak itu. Ia lupa ibunya punya teriakan yang mirip dengan guru olahraga sekolahnya: keras, menusuk, menjengkelkan. Untungnya wanita itu tidak menimpanya. Jika iya, ia sudah membanting tubuhnya ke meja dari tadi.

Kepala anak itu serasa berputar. Kepalanya perih, sangat. Jika ia mendadak bodoh, ia akan menyalahkan ibunya. Perlahan itu berusaha duduk bersila di atas lantai, tangan terus mengusap-usap kepala bagian belakangnya. Sesuatu berdiameter lebar sudah muncul di sana. "Aku harus apa...?" Suaranya lemah, ibunya tersenyum tipis.

"Kau ingat Nona Eva?"

"Siapa?" Connor memperhatikan sekelilingnya, lebih tepatnya, lantai kamarnya.

"Mayat lacur itu," ungkap wanita it, tersenyum datar. Tiap kali ia tersenyum, matanya tak pernah berseri-seri. Tak pernah ada kerutan berarti di sisi matanya. Senyumnya palsu, selalu begitu.

"Oh, yang itu?" Tangan pemuda itu meraba lantai. Ketika ia mendapatkan sesuatu yang kurus panjang, ia menariknya. Ia ambil benda itu, gagang kacamatanya yang sudah patah. Di mana lensa dan gagang satunya lagi?

"Aku membutuhkan bantuanmu." Mendadak dua buah tangan berlapis kain merah ketat merayap lengan Connor, memeluknya erat. "Hanya satu malam ini saja."

"Menyingkir dariku." Lelaki itu mendengkus, menepis pelukan sensual wanita yang melahirkannya. "Jelaskan apa yang harus kulakukan."

Wanita berpenampilan seperti gadis pirang di awal 30-annya itu mendecih. Terus terang saja, Connor bisa saja menjadi seorang aseksual karena ibunya sendiri. Lelaki itu jijik tiap kali bersentuhan dengan buah dada, baik milik ibunya maupun beberapa anak sekolahannya. Namun ia juga tidak pernah terpancing itu menatap bokong teman lelakinya, bahkan belalainya.

"Wanita yang kau telanjangi itu," ulang ibunya, membuat bulu kuduk Connor berdiri mengingat apa yang telah ia lakukan. "Sudah saatnya kau membuangnya."

"Tunggu, aku?" Ia tertawa keras, mengejek. "Kenapa tidak kau saja?"

Ibunya berlutut. Tangan menggapai rambut kecokelatan anaknya, menggenggamnya lalu menariknya. Lelaki lemah di hadapannya meringkih. Matanya tertutup rapat.

Sang ibu berbisik, "Kubur. Dia. Jauh. Dari. Sini."

---

Perlu beberapa saat bagi Connor untuk menyiapkan diri, fisik maupun mentalnya.

Tiap menit ia mengusap kedua tangannya yang tertutup sarung tangan. Bibirnya kering, dan kepalanya terasa ringan (ia masih menyalahkan ibunya). Awalnya ia pikir ini hanya akan seperti misi-misinya yang biasa. Membuang mayat di kedalaman hutan pinus, meninggalkan beberapa petunjuk palsu atau apapun yang akan muncul mendadak di kepala nantinya, lalu pergi secepat mungkin.

I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang