"Aku masih ingat masa-masa SMP-ku, menjadi bocah yang merokok nyaris tiap hari. Tiap sebelum aku pulang ke rumah, aku selalu mengoleskan tanganku dengan oli di bengkel. Aku benar-benar takut jika ibu tahu. Beberapa temanku lebih memilih untuk mencuci tangan dan memakan lusinan permen mint--tetapi aku lebih memilih oli, dan ibuku tidak pernah curiga.
"Kau merokok?"
Connor menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin tubuhku menciut."
"Oh... tunggu, itu sindiran, ya?"
"Bukan."
Pria itu melenguh, membuat Connor memutar bola matanya. Namun setidaknya di sini ia senang--tidak, tidak terlalu. Tempat ini tidak membuatnya senang: dinding dingin, lampu gantung yang sesekali mengayun, aroma kopi dan rokok yang tajam, gundukan barang yang ditutup kain lusuh dan tebal, kotak-kotak kayu....
Ia tidak senang, tetapi ia merasa cukup aman. Seperti, andaikata tiba-tiba polisi menggebrak masuk dengan senapan teracung. Dengan adanya Rozer, Connor dapat langsung menyergap pria itu dan menjadikannya sandera. Atau tidak, sekedar berteriak, "Dia menculikku!" atau, "Dia yang menjauh semua heroinnya, aku tidak tahu apa-apa!"
Oke, yang terakhir itu bodoh, tetapi itu yang menyebabkan pemuda itu tertawa pelan hingga Rozer menatapnya heran ketika ia tengah membersihkan sebuah guci entah berapa harganya.
... Sudah berapa kali Rozer membongkar kotak kayu di sini?
Connor merogoh saku celananya. "Tunggu, sekarang pukul... sial, ponselku mati. Payah sekali gubuk ini, tidak ada steker. Oi, Roz."
Rozer mengangkat tangan kirinya, memandang pergelangan tangannya. "... Aku tidak mengenakan jam tangan, tetapi aku yakin sekarang pukul lima pagi."
"Aku harus pulang." Aku harus sudah ada di rumah sebelum dia ada.
"Dasar anak mama," cibirnya.
"Awas atau akan aku adukan ke mama," seringai Connor.
"Boleh, apakah mamamu seksi?" Ia menanyakannya dengan nada datar.
"Berisik." Pemuda itu beranjak. Terdengar derak tulang-belulangnya ketika ia berdiri. Setelah beberapa kali melakukan peregangan, ia menepuk pundak Rozer beberapa kali, lalu membuka pintu dan berjalan ke luar.
Wajah monotonnya diterpa angin dingin. Tidak ada suara derum mesindari jalan raya di atas sana. Masih terlalu pagi untuk berkendara? Mungkin, setidaknya itu yang dipikirkan oleh pemuda itu.
Semburat biru muda sudah timbul di langit ketika ia mengambil kunci cadangan di rak sepatu depan rumahnya. Ia tidak bisa masuk melalui pintu besi garasi, akan menimbulkan suara.
Sejujurnya, ia yakin ibunya sudah ada di rumah. Ia kini hanya dapat berdoa ibunya masih teronggok lemah di atas kasur.
Namun ia salah.
Suara air mengalir terdengar dari dapur, tak jauh dari ruang utama. Pemuda itu melangkah beberapa kali, lalu menoleh ke arah dapur yang tersambung dengan ruang tengah dan makan.
Kosong.
Ia melebarkan langkahnya, menaiki anak tangga satu per satu, memindai seluruh perabot di lantai dua dan menajamkan pendengarannya. Rasanya ia dapat mendengarkan segalanya karena telinga yang kaku akibat udara dingin, seakan-akan daun telinganya sudah sebagus corong plastik.
"Cone."
Sial.
Belum sempat Connor menoleh, sebuah tamparan keras menghampiri pipinya.
"Ke mana?" lanjut ucapan tadi, terdengar lebih dingin dari perkataan sebelumnya.
Pemuda menyipitkan matanya, menahan rasa perih di pipi kirinya. "Aku--"
KAMU SEDANG MEMBACA
I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]
Mistério / SuspenseSeharusnya Connor berteriak malam itu, memberi tahu semua orang bahwa ia memiliki jawaban dari teka-teki yang dicari-cari. Namun ia bungkam, menyimpan teriakan itu dan menyakiti dirinya sendiri. Ibunya tidak seperti yang lain, dan Connor tidak dapat...