XIX

196 54 2
                                    

Deviarty: Aku ingin menemuimu, besok, sekitar jam delapan. Aku akan memberikanmu sesuatu, karena akulah yang berada paling dekat dengan kasus orang hilang dan penemuan mayat Nyonya Eva—lebih dekat, daripada dirimu. Berjalanlah di sekitar jembatan, dan aku akan memberikan kode. Saat aku mengucap "L' home est condamne ...," maka kau harus menjawab "a etre libre." . Pertemuan kita adalah rahasia, dengan kode itu, kau akan tahu bahwa aku sudah berada di sana. Ingat, aku lebih dekat daripada kau di kasus ini. Aku tidak menginginkan penolakan.

Pesan itu hanya dibaca.

Dan entah mengapa Connor merasa terkhianati.

Yah, perempuan itu setuju atau tidak, ia tetap akan menghampiri tempat itu. Ia sudah menyiapkan selembar kertas berpesan dan akan memasukkan benda itu ke kantung atau apapun yang ada pada perempuan itu. Ia usahakan ia tetap anonim di matanya. Jika tidak, operasi gagal.

Kertas itu kini terhimpit di antara meja makan dan piring yang ia gunakan untuk sarapan. Ia memakan udara; telur dadar dengan brondong jagung ditemani segelas susu tidak akan memenuhi kebutuhan tubuhnya. Ia berencana untuk keluar dan mengambil beberapa porsi makanan di toko-toko tanpa izin. Mungkin nanti, setelah pertemuan yang ia janjikan pada dirinya sendiri itu.

Connor kemudian mengecek segalanya. Ia membuka pintu bawah tanah, memastikan pintu perantara dua kamar serba dingin di sana tidak terkunci. Namun ia akan mengunci pintu masuk dari dalam rumah, ia tidak ingin Nina memasuki rumahnya. Bukan apa-apa, tetapi jika wanita itu menemukannya….

Ada baiknya gadis itu masuk dari pintu belakang, yang sudah dilapisi es tipis entah selama berapa minggu karena pintu itu nyaris tidak pernah dibuka dan tertimbun salju sehingga nyaris tidak pernah terlihat. Andai saja Connor tahu keberadaan pintu di belakang ruang mayat, ia bisa lari di antara mayat-mayat yang tertidur dan keluar dengan mudahnya–dan celana yang basah. Namun sepertinya sia-sia juga, ibunya akan mengunci pintu masuk utama rumah ketika ia sudah di luar.

Pemuda itu menginjak pintu hijau tua berdaun dua yang tertanam di tanah beberapa kali, lalu membukanya, memperlihatkan anak tangga dari semen yang menuju sebuah pintu besi tua yang tak terawat.

Ia membuka pintu itu, dan melihat kasur-kasur dengan kain putih di atasnya, menutup mereka yang dulunya bernapas di bawah payudara ibunya.

Mungkin.

“Semoga ia tidak terkena serangan panik di sini,” gumamnya, napasnya menutupi kacamatanya sendiri saking dinginnya. “… Semoga dia kuat.”

Ia melirik ponselnya, pukul 7:45. Ia harus mulai berjalan dari sana, menemui 9-FreeMe yang ia harap menaruh kepercayaan padanya. Sedikit saja.

Dengan itu, ia mengambil kertas bertuliskan perintah dan alamat, memasukkannya ke dalam amplop cokelat yang sempat ia dapatkan dari laci meja kerja ibunya, mengenakan masker yang sekiranya tidak akan membiarkan napas pagi membutakan kacamatanya, dan pergi dengan hoodie tertebal yang ia miliki.

---

Nina sudah ada di sana, sendirian, bergetar di sisi jembatan dengan kakinya yang pincang.

Mereka benar-benar sendirian di sana. Bahkan alam tidak bersuara. Entah mereka berupaya menghormati kejadian yang akan memulai kebahagiaan di masa depan, atau karena mereka tahu ini merupakan awal dari rentetan kejadian buruk ke depannya.

I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang