Tanpa banyak pikir, Connor memutuskan untuk tidak menemui Nina sore itu. Ia sudah tidak ingin berpikir lagi ketika melihat Rozer menjual ganja di balik semak gerbang sekolah.
Sepanjang perjalanan Connor mengembuskan napas berat.
Hanya ada satu kata di kepalanya.
Bosan.
Bosan.
Bosan.
Bosan.
Terus begitu hingga langkah terakhirnya di depan rumah.
Sepertinya kepala Connor terlalu berfokus pada kebosanannya, hingga ia tak sadar ia sudah sampai sana. Ia langsung memasuki rumah tanpa mengetuk pintu, seperti biasa. Mobil ibunya belum terlihat, mungkin pulang larut lagi.
Lampu ia nyalakan. Hawa dingin masih memenuhi ruangan. Ia melepas sweater-nya, melemparnya ke sofa. Ransel kini ia tenteng dengan tangan kirinya, tangan kanan meraba dinding bertekstur tak rata sepanjang tangga menuju lantai dua.
Memasuki kamar, kepalanya terasa makin berat. Ia mengecek ponselnya.
Lusinan notif baru.
... Apakah ia harus mengeceknya?
Ia menghempaskan tubuh tingginya ke kasur. Kacamata ia taruh sebelumnya di meja belajar. Ia sengaja pula tidak menyalakan lampu kamar, tirai jendela ia tutup. Sumber pencahayaannya kini hanya dari layar ponselnya.
Bodo amat ia sudah minus empat, ia merasa terlalu nyaman.
ghoST: Biasanya kau membuat essaimu lebih panjang. Ada apa denganmu? @Deviarty.
weaboo: Aku yakin @Deviarty sedang tidak serius sekarang. Apa mungkin ia masih memanaskan mesin?
⤷ H4H4: Faktor terlibatnya AnotherScooby? Biasanya ia jauh lebih objektif, mengambil dari banyak sumber. Namun sepertinya kali ini memang belum ada banyak petunjuk.Halcyeon: Entah sudah ke berapa kalinya teori keterlibatannya Diana Lowe milik @Grayi @AnotherScooby dan @Deviarty mampir ke tempatku. Halo? Padahal bisa saja Eva DeCusso mengundang kematiannya sendiri.
⤷ Grayi: Bisakah kau menjelaskan maksud dari "mengundang kematiannya sendiri?"
⤷ Grayi: Tidak semua orang yang hilang merupakan korban dari suatu insiden, 'kan?Connor bergeming. Ini... sebuah kesempatan...?
⤷ Deviarty: @Halcyeon Kau tidak salah.
Pemuda itu sudah memberi sedikit sentuhan untuk propaganda yang dapat membuat iso-avant menjauh dari kebenaran.
Kini ia membuka akun media sosial lainnya, akun untuk keperluan mengobrol dengan anak satu kelasnya--satu angkatannya. Tidak ada percakapan kala itu... ia hanya ingin mencari seseorang.
Tangannya menggulir deretan profil yang ada pada grup obrolan kelas.
Ia mencari nama itu.
Nina Carrson.
Manik mata Connor menangkap huruf kapital N, Nina. Ia segera membuka profil itu, hendak memulai percakapan.
Telunjuk pemuda itu secara tak sengaja mengetuk-ngetuk bagian belakang ponselnya.
Mendadak ia lupa bagaimana cara membuka percakapan.
Belum lagi dengan gadis yang tidak ia kenal. Yah, memang Connor tidak kenal banyak orang. Sebenarnya Connor mudah-mudah saja berbicara dengan orang asing, tetapi kondisi itu tidak berlaku pada orang asing yang ia temui tiap hari.
Terutama seorang Nina Carrson, manusia paling menyedihkan yang pernah Connor lihat seumur hidupnya. Andai saja gadis itu memiliki fisik seperti ibunya, bisa saja hidupnya terbantu.
Bayang gadis itu mendadak muncul di kepalanya. Gadis berambut panjang gelap, mata kecokelatan... tetapi wajahnya selalu terlihat lesu, dan Connor tidak pernah berpikir apa saja yang gadis itu lalui tiap malam hingga wajahnya seperti itu.
Seperti yang diketahui semua orang, tangan kirinya suka bergetar. Tidak, bukan suka, sudah sebuah kerutinan. Karena itu gadis itu mudah sekali ditemukan di tengah kerumunan. Belum lagi cara berjalannya yang menarik perhatian, pincang.
Gadis itu benar-benar menyedihkan.
Ia berpikir lagi, andai saja gadis itu memiliki fisik seperti ibunya. Ia pasti menjadi pujaan banyak lelaki, dan kekurangannya itu pasti terhapus karena kecantikannya. Gadis itu juga bicara seperlunya saja, menambah kesan anggunnya.
Jika rambutnya sedikit lebih tebal dan bergelombang seperti ibunya... dengan bulu manta lentik, payudara lebih besar dan bokong yang berlekuk....
... Suara gadis itu juga manis, sebenarnya.
... Celana Connor terasa lebih ketat dari sebelumnya.
Ah, gadis itu juga duduk di dekatnya. Kini ia membayangkannya lagi, kala itu. Saat pertama kali memasuki kelas, gadis itu beberapa kali menoleh ke arahnya.
Menatapnya ketakutan.
"Sialan."
Connor beranjak dari kasur, menyalakan lampu. Ia tidak tahan, napasnya sudah memburu sejak tadi, begitu pula detak jantungnya.
Langkah lebarnya menuju pintu kamar, keluar dari kamar itu. Ponselnya ia tinggalkan, takut tangannya secara spontan mengetik situs porno.
Belum saatnya, ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk melakukannya setidaknya seminggu sekali. Sekarang terlalu cepat.
Ia menuruni tangga, berjalan di tengah rumah kosong di atas pegunungan rendah.
Langkah kakinya terdengar jelas ke seluruh ruangan, ia menuju ruang bawah tanah.
Pintu ia buka, memperlihatkan ruang putih yang ia benci.
Ia mengunci ruang itu dari dalam, lalu terduduk di salah satu anak tangga menuju lantai ruang itu.
Matanya melirik ke arah meja di tengah ruangan, dengan laci-laci kecil berbaris di pinggir ruangan. Salah satu sisi dinding menampilkan sebuah pintu kayu putih yang terlihat tebal dan mewah.
... Connor tidak ingin ke sana.
Ketika detak jantungnya sudah stabil karena udara super dingin bawah tanah, ia kembali ke atas, lalu membaringkan tubuh di atas kasur.
Ponsel ia matikan.
Ia butuh waktu untuk menyendiri.
Besok ada hari baru, ia harus mempersiapkan tubuhnya.
Dan berharap tubuhnya tidak bergabung dengan kumpulan tubuh di balik pintu kayu putih bawah tanah milik ibunya.
---
Lanjut ke bab bonus, yuk!
KAMU SEDANG MEMBACA
I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]
Misterio / SuspensoSeharusnya Connor berteriak malam itu, memberi tahu semua orang bahwa ia memiliki jawaban dari teka-teki yang dicari-cari. Namun ia bungkam, menyimpan teriakan itu dan menyakiti dirinya sendiri. Ibunya tidak seperti yang lain, dan Connor tidak dapat...