XI

221 64 7
                                    

Connor mendapati ponselnya di atas meja belajar, dengan layar yang bersih dari sidik jari, dan baterai yang sudah terisi penuh. Ia tersenyum kecil. Setidaknya hubungan anak dan ibu itu mempunyai satu kesamaan: menyayangi benda elektronik masing-masing dengan baik, berlebihan kadang.

Pemuda itu menyalakannya. Seperti biasa, rentetan notifikasi baru menutupi hampir seluruh bagian layar ponselnya yang masih terkunci.

Ia harus memulai ritualnya.

Pintu dikunci, lampu dimatikan. Tirai jendela ditutup, celana jeans dilepas dan dilempar ke pojok ruangan. Tas sudah ia tinggalkan di atas meja belajar. Namun karena ia yakin “aktivitas“ kali akan berlangsung lama, ia menyalakan lampu belajar di mejanya. Kini di sudut kamarnya terpancar cahaya oranye lembut yang menerangi ruangan biru gelap itu.

Jemari jenjangnya menyugar rambut kecokelatannya yang mulai memanjang. Agak lengket karena keringat, mungkin ia akan mencuci rambutnya nanti. Yang penting sekarang hanya satu: kabar kasus Eva DeCusso.

Wajah gadis yang sekelompok dengannya tadi siang menyusupi pikirannya. Otomatis otaknya menganalisis tiap detilnya, mencoba untuk mencocokkannya dengan Eva.

Kini Connor duduk di sisi kasur, menyenderkan tubuhnya ke dinding seraya meluruskan kakinya. Mata kirinya terpancar cahaya kemerahan langit sore, ia menyukainya.

Sebenarnya waktu seperti ini akan lebih menyenangkan jika ia menyalakan musik bertempo lambat dari radio maupun ponselnya, bergenggaman tangan dengan seorang gadis–

Tunggu, dari mana pikiran itu datang? Connor tidak pernah memikirkan gadis sebelumnya. Yah, setidaknya bukan dari konteks itu. Ia menggelengkan kepalanya, gusar. Malu dengan pikiran itu. Rasanya lebih tepat jika ia memandang wanita sebagai objek saja. Objek penelitian, dan… semua yang pastinya pernah dipikirkan oleh 100% remaja lelaki di dunia.

Suara nada dering pendek terdengar. Notifikasi baru. Connor dapat melihat sebuah cahaya berkedip dari ponselnya, tanpa kacamata. Ia menyalakan benda yang sempat mati itu, membuka kata sandinya, dan mendapati Rozer mengirimkannya sebuah pesan singkat lewat situs iso-avant.

Rozer: Lihat gaya tengilnya, LOL

Connor mengernyitkan dahi. Pria itu mengirimkan sebuah post tulisan dari… siapa ini, 9-FreeMe?

9-FreeMe: Teori kalian sangatlah konyol, aku sampai harus menahan tawa. Omong-omong, kalian ingin mendengar teori lain lagi mengenai Nyonya Eva dan orang-orang hilang itu? Kalian ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi?

“Sampai harus menahan tawa, ya?” Sebuah senyum tipis timbul. Ia baca balasan-balasan pengguna lain.

gh0st: Uh-huh, tentu saja, kenapa kau tidak bergabung dengan teorimu, Nine?

9-FreeMe: Baiklah, teoriku akan mudah ditemui dengan tagar dan kata kunci #EvaDeCusso #Killing #Missing. Omong-omong seseorang di atas sepertinya sudah mengatakan jika mungkin saja Nyonya Eva DeCusso mengundang kematiannya sendiri.

Ya, Connor ingat itu. Ia mengecek waktu pengiriman post itu.

Deviarty: Apa yang coba kau bilang?

9-FreeMe: Hmm, mungkin saja Nyonya Eva berhubungan dengan kasus hilangnya para pria sejak September.

Baik, sama-sama kasus orang hilang, sama-sama terjadi di Dawson Pass. Namun, selebihnya?

Deviarty: Kau hanya membahas dua hal yang tidak berhubungan.

9-FreeMe: Hampir berhubungan, Dude. Lihat polanya, Nyonya Eva juga dikabarkan menghilang sebelum ditemukan mati.

I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang