Mengikuti pola pikir pembunuh berantai memang sulit. Sudah berbagi DNA yang sama dengannya pun tidak membantu.
Connor Lowe mendobrak pintu kamarnya, lalu menguncinya. Ia melempar ranselnya ke atas kasur berseprei biru dongkernya, dengan selimut putih tak terlipat dan beberapa helai pakaian kotor berserakan.
Jemarinya menyugar rambut cokelatnya yang berminyak. Dibukanya laci meja belajar, mengambil penyemprot berisi cairan pembersih, kemudian mengeluarkan kacamata yang terselip di bagian leher sweatshirt hitamnya. Benda itu sudah dibalut selotip, patah di bagian gagangnya. Dengan telaten ia mengelap lensa kacamata dengan kelim bajunya, lalu menggunakannya.
Jernih, ia langsung dapat mengenali Remington ACR curiannya tergeletak di atas meja.
Matanya menangkap sesuatu, sebuah kotak persegi panjang navy bertengger di atas mejanya. Curiga, ia memperhatikan sekelilingnya. Tak ada barang yang berpindah tempat. Berarti orang yang menaruh benda itu tidak memiliki niat jahat, atau sama sekali tidak peduli dengan apa yang ada di kamarnya, bukan?
Apa yang Connor asumsikan, dan selalu ia asumsikan, adalah yang kedua.
Pemuda itu membuka kotaknya. Di dalamnya sebuat benda hitam berbentuk tablet setelapak tangan; sebuah tempat kacamata. Helaan napas berat melesat keluar dari mulutnya.
"Terima kasih, Aidan Jörg, aku tidak membutuhkannya." Ia menutup kotaknya, lalu menendangnya ke bawah meja. Lagi, sebuah helaan napas berat. "Menjual karisma dan kacamata ke ibuku untuk memenangkan hatinya? Please, kau tidak tahu apa-apa." Ia tertawa pelan, sebuah tawa datar yang menyebalkan. Hanya dalam milidetik wajahnya berubah masam lagi.
"Bu, terima kasih atas ketidakpeduliannya."
Pemuda itu mengambil laptop dari tasnya, menyalakannya, kemudian--anak itu menajamkan telinga. Suara hentakan?
"Cone, sudah berapa kali kubilang jangan pernah mengunci kamarmu!"
Demi Tuhan, wanita itu.... "Namaku Connor, bukan Cone!" sahutnya. Ia memijak lantai demi lantai kamarnya dengan keras. Ia membuka kunci pintunya dan langsung melipat tangannya di depan dada. "Apa?"
Wanita di hadapannya mendongak. Wanita dengan rambut pirang bergelombang, menutupi telinganya hingga bagian atas dadanya yang menurut kaum adam amat sangat memuaskan. Bibirnya seperti peach yang manis, dan kulit wajahnya seakan-akan selalu dimandikan darah hingga sejernih itu. Tubuhnya seperti sengaja dipahat oleh Tuhan terlalu menggiurkan.
Namun ia tetap harus mendongak untuk menatap kedua mata anaknya. Ayolah, 163 cm dan 187 cm memiliki jarak yang jauh di antaranya. Connor menyalahi ibunya yang berselingkuh dengan raksasa.
Sosok dengan wajah berkerut kesal itu mendecak. "Dua liter, minggu depan." Lalu ia berbalik, rambut pirangnya yang beterbangan menggores dada anaknya sendiri, kemudian berjalan diikuti suara pantofel yang bergema di lorong lantai dua rumah seakan-akan di sanalah tempat ia ber-cat walk ria.
Connor mengembuskan napas berat. Ia kembali mengunci pintunya. Wajahnya terlihat datar, berpikir apakah ia harus senang atau tidak. Di satu sisi, Aidan Jörg akan tidak ada lagi untuk mengganggu kacamata favoritnya. Namun di sisi lain, ibunya akan mendapatkan yang baru, dan koleksi mayatnya akan bertambah satu.
Membingungkan memang. Connor berbagi DNA yang sama dengan ibunya, tetapi ia tidak pernah dapat mengerti isi kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]
Misterio / SuspensoSeharusnya Connor berteriak malam itu, memberi tahu semua orang bahwa ia memiliki jawaban dari teka-teki yang dicari-cari. Namun ia bungkam, menyimpan teriakan itu dan menyakiti dirinya sendiri. Ibunya tidak seperti yang lain, dan Connor tidak dapat...