Tok, tok, tok!
"Rozer, ini aku." Pemuda itu bersandar di samping pintu. Sebuah pintu kayu usang yang menempel pada dinding bangunan kecil yang atapnya saja sudah tak berbentuk. "Aku membawa apa yang kauinginkan."
Tak ada jawaban, ia hanya mendesah kesal dengan sekotak entah apa itu di tangannya. Ia memperhatikan langit yang sudah menggelap. Lampu-lampu jalan layang di atasnya sudah menyala, memberikan kesan oranye lembut di atas salju Dawson Pass yang kini ia pijak. Bahkan sungai di sisinya bergelimang kilau cahaya. Ia tidak tahu harus mengaguminya atau tidak.
Suara gemerincing kunci terdengar, lalu pintu kayu itu berayun terbuka. Seorang pria dengan kain menutupi bagian hidung hingga dagunya muncul dari balik pintu yang terbuka sedikit itu. "Ada perlu apa?"
Mata gelapnya terlihat sangat waspada.
Pemuda tadi pun memperbaiki posisi barang bawaannya, walau itu menyebabkan kacamatanya melorot beberapa senti dari batang hidungnya. "... Curiosity killed the cat."
Pria di hadapannya menegakkan badan, menatap sosok di hadapannya dengan lebih cermat. "Lalu?"
Suara embusan napas berat terdengar jelas dari lawan bicaranya. "But satisfaction brought it back, kau harus mengganti kode itu. Semua orang tahu."
Gelak tawa pendek, lalu pintu terbuka lebar. "Tapi tidak kalimat keduanya," sanggah orang itu. "Taruh saja di meja sana."
"Terima kasih." Ia memasuki ruangan gelap itu, lalu menutup pintu dengan kakinya. Sepatunya membasahi lantai semen di bawahnya. Namun ia segera saja menaruh kotak yang ia bawa ke meja di samping dinding kelabu ruangan itu. Setelahnya ia langsung memperbaiki posisi kacamatanya. "Baru ini yang kudapat, tapi ... saat itu ada klienmu yang menginginkannya, bukan?"
Pria tadi terbatuk, menghampiri pemuda yang lebih tinggi 10 senti darinya dan menyikutnya agar menyinkir dari depan meja. Ia membuka kotak itu, "Aku punya lusinan ini di gudang," ujarnya pelan. "Sepertinya Scar yang kau dapat kemarin memang hanya keberuntungan saja."
"Kau menginginkannya tidak?" tanya pemuda itu ketus. Tangannya mengacak-acak rambut kecokelatannya, gusar. "Aku benar-benar membutuhkan uang."
"Yah, kini kau yang beruntung, Deviarty." Pria itu merogoh kantung celananya, mengeluarkan amplop kecokelatan dari sana. "Lihat, Dev, makan malammu!"
"Berhentilah bermain-main soal uang, Rozer." Lelaki yang dipanggil Dev itu menyeringai, merebut benda itu lalu mengantonginya. "Harusnya kau menggunakan uangmu untuk memperbaiki tempat tidak karuan yang kau sebut gudang ini."
Pria itu mengangkat kedua tangannya. "Ini bukan gudang, Bung, ini markas kecilku," ujarnya. "Mungkin penerangannya hanya satu bohlam dan furniturnya pintu dan beberapa meja. Tapi kau tidak akan pernah tahu isi kotak-kotak kayu ini, 'kan?" ia menendang salah satu kotak di bawah mejanya. "Isinya fantastis."
"Terserah, yang penting aku sudah mendapatkan uangnya sekarang." Dev berbalik, lalu keluar dari sana tanpa satu patah katapun. "Aku pergi!"
Napasnya putus-putus seketika ia kembali ke alam bebas.
Uang sudah didapatkan, sekarang apa yang ibu minta. Deviarty hanyalah sebuah alter ego. Pemuda itu, Deviarty--bukan, Connor Lowe mengusap pipi kanannya yang mulai terasa dingin. Lebih dingin dari biasanya. Apakah ia takut? Tidak, untuk apa ia takut?
Daerah yang ia kunjungi memang dingin, bahkan jarang terkena matahari karena jalan layang di atasnya. Di sisi lain jalan itu hanya deretan pohon pinus, dan kegelapan yang entah berapa jauh kedalamannya. Yang Connor tahu, tempat itu tidak aman... walau ia sendiri sadar hutan pinus itu juga merambat di belakang rumahnya. Ah, juga sekolahnya. Dawson Pass memang dipenuhi oleh hutan pinus.
KAMU SEDANG MEMBACA
I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]
Misteri / ThrillerSeharusnya Connor berteriak malam itu, memberi tahu semua orang bahwa ia memiliki jawaban dari teka-teki yang dicari-cari. Namun ia bungkam, menyimpan teriakan itu dan menyakiti dirinya sendiri. Ibunya tidak seperti yang lain, dan Connor tidak dapat...