Ada dua kabar buruk.
Pertama, Connor terbangun dengan ibunya membawakan sarapan ke kamar. Ibunya menepuk kepalanya beberapa kali, meracau entah tentang apa karena Connor masih setengah sadar.
Jadi, simpelnya, ia menggunakan lima menit yang ada untuk tidur. Setelah bangun, ia tidak dapat menemukan ponselnya.
Di meja, kolong meja, kasur, kolong kasur, kantung celana, jendela, bahkan terselip di antara dinding dan kasur.
Kesimpulan sementara yang ia dapat: ibunya menyita ponselnya, mungkin karena wanita itu tahu apa yang Connor lakukan tadi malam.
Dan itu membuat mood-nya rusak seketika.
Kedua, Connor tidak pernah suka kerja kelompok.
Belum lagi satu kelompoknya hanya berisi dua lawan jenis, satunya berisik, satunya seakan-akan ia tersedak burung gagak malam sebelumnya. Sepanjang pelajaran ia ingin sekali mengecek ponselnya, tetapi....
Coba lihat cewek bergetar itu, dengan mata menatap satu titik, entah apa. Ia terlihat seperti orang bodoh. Bukan, sakit jiwa, menunggu seseorang datang menjemputnya ke rumah sakit jiwa.
Untungnya satu cewek dengan rambut biru navy di poninya menyeret gadis itu ke meja lain. Apa di situ saja?
"Tuan Lowe, jika kau belum lagi mendapat kelompok, aku benar-benar akan menendang bokongmu keluar lewat jendela."
Suara tawa bergema, namun segera pudar ketika Connor membalas ucapan guru itu dengan tatapan sangsi. Pemuda itu kemudian hanya mengembuskan napas berat. "Baik."
Ia beranjak dari kursinya, mengambil buku tulis dan pena, lalu berjalan ke arah dua gadis tadi.
Kemudian menggebrak mejanya.
"Tunggu, apa masalahmu?" Gadis-getar itu menyalak.
"Tanyakan itu pada dirimu sendiri," balas Connor. Ia menarik sebuah kursi tak jauh dari sana, lalu duduk di hadapan gadis itu.
Sempat terlihat si poni biru menatapnya sinis, tetapi wajahnya kembali melembut ketika getaran si gadis-getar, Nina, makin terlihat. "Nina, kau tak apa?" tanyanya. "Sumpah kau linglung seperti orang gila bahkan sebelum aku menyeretmu pindah ke sini."
"Tuan Lowe dan Nyonya Carsson!" tegas guru itu lagi, "kerjakan tugas kelompok kalian dan jangan membuat keributan. Fokus!"
"Maaf," jawab gadis itu, Nina, ya?
Connor menggelengkan kepala samar, berkata, "Aku ingin mati saja kalau begini," sepelan mungkin agar tidak ada yang mendengar. Tangannya menulis namanya pada kertas yang baru saja diberikan ketua kelas, berisi soal-soal yang seharusnya bisa Connor jawab. Dengan mengingat apa yang ia dengar dari gurunya selama dua minggu terakhir. Setelahnya, ia menyerahkan kertas itu ke Nina.
"Tulis namamu," ujarnya, lalu ia memperhatikan perkataan guru di depan kelas. Lima soal pertama bernilai sepuluh poin, soal ke-6 dua puluh, soal terakhir tiga puluh. Selasa depan mereka ujian mengenai bab itu, dan Connor langsung mencatat tanggalnya pada pergelangan tangannya dengan pena.
Saat ia berbalik menatap rekan kelompoknya, ia malah mendapati Nina menatapnya dengan intens tanpa mengedip.
"Apa?" tanya lelaki itu, risi.
Gadis itu tersentak. "Bukan apa-apa," ujarnya pelan, kemudian memejamkan mata dan menarik napas panjang.
Sebuah tawa terdengar dari meja sebelah. "Mungkin Lady Fuhrer sedang merapal mantra supaya kau jadi korban holokaus."
"Yeah, Sieg Heil!"
Kelompok itu, dan beberapa kelompok di sekelilingnya terbahak. Connor tidak terlalu memikirkannya, perkataan itu sudah sering kali terlontar pada Nina. Semuanya karena getaran pada tangannya itu, entah penyakit apa yang ia idap dari kecil. Sepertinya beberapa orang yang mengenalnya sejak dulu juga mempermainkannya dengan kata-kata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]
Mystery / ThrillerSeharusnya Connor berteriak malam itu, memberi tahu semua orang bahwa ia memiliki jawaban dari teka-teki yang dicari-cari. Namun ia bungkam, menyimpan teriakan itu dan menyakiti dirinya sendiri. Ibunya tidak seperti yang lain, dan Connor tidak dapat...