Salju sudah turun, dan uang di kantungnya sudah tidak dapat memberikannya apa-apa lagi.
Pemuda itu berjalan cepat menuju rumahnya. Menempuh setengah jalan, ia berpikir apakah ibunya ada di rumah atau tidak. Sisanya, ia kehilangan fokus.
Ia menatap papan jalan yang bertengger di sisi trotoar. Tempat itu bersih dari bangunan, hanya beberapa pohon pinus yang berjejer jauh dari satu sama lain dan tanah berlapis salju yang terus menukik.
Dalke st. 041
Belakang rumah, pintu menuju bawah tanah
Bukti-bukti ada di sanaHarusnya perempuan itu tidak kesulitan mencari rumahnya. Rumah itu berdiri tepat di samping hutan pinus yang lebat, seperti rumah nenek sihir kanibal yang menyantap anak-anak seperti Hansel dan Gretel tiap malam.
Ia selalu merasa ibunya sengaja tinggal di tempat yang terisolasi.
Tidak banyak, nyaris tidak ada malah, tetangga yang bisa diajak bicara. Ada beberapa rumah, beberapa villa tak berpenghuni, atau dua-tiga tempat rekreasi yang tak lagi digunakan. Orang-orang di sini? Tidak peduli sama lain. Hanya mengenal nama marga, itu saja. Gerombolan etnosentris sejati, dan ia tertular.
Beberapa kali serpihan es kasar menggores wajahnya, memaksanya untuk berjalan cepat ke rumah. Sesampainya di sana, ia tidak mengetuk pintu. Ia langsung menghambur ke dalam, dan mendapati seorang wanita telah terhampar di atas sofa dengan seorang pria di atasnya.
Pemuda itu menahan napas, tetapi mata dingin wanita itu sudah menyadari ada seseorang yang baru saja memasuki zona privasinya.
"Con!" pekik wanita itu, mengagetkan pria.
"Aku pergi," jawab anak itu pelan. "Aku-"
Sebuah tamparan membakar pipinya.
Ia mendongak, melihat tatapan nanar ibunya dengan wajah merah. "Bukankah kau seharusnya di sekolah?"
Connor mundur satu langkah. "Aku tidak enak badan."
"Pembohong!"
Tangan panas itu bertemu dengan pipi Connor yang lainnya. Pemuda itu sempat melihat pria yang dari tadi bersenggama dengan ibunya telah hilang. Apakah tadi hanya halusinasi?
Pemuda itu mengernyitkan dahi. Ia berupaya mengucapkan kata maaf, tetapi yang ada tubuh jangkungnya dibanting ke dinding.
Ia tidak tahu, mendadak tubuhnya merasa lemas. Selalu begitu ketika ia menghadapi ibunya sendiri.
Namun pikirannya berkecamuk.
"Berhenti," ujar pemuda itu, pelan.
"Oh, aku akan berhenti." Wanita itu memasang wajah kesalnya. Ia meraih kaus Connor, mendorongnya ke dinding. "Aku akan berhenti setelah kau menjelaskan semuanya."
"Demi Tuhan, aku tidak enak badan, kau memperburuk keadaanku," balas pemuda itu sinis, mendapati ibunya bernapas makin keras.
Lalu berhenti.
Sunyi, hanya derak kayu yang tergesek salju terdengar.
"Buka jaketmu," pinta wanita itu, lembut. Genggamannya mengendor, perlahan membiarkan Connor berdiri dengan kedua kakinya sendiri--menyeimbangkan tubuhnya. "Kau dari mana?"
Pemuda mengangkat tangan kanannya, agak gemetar ketika memperbaiki posisi kacamatanya. "Makan di luar."
"Padahal aku bisa membuatkanmu sarapan," gumamnya, menatap jam dinding di dapur. "Bagaimana kalau kau ke kamarmu saja?"
Connor menatapnya lekat-lekat, hanya dari ekor mata. Telapak tangan ibunya entah sudah berapa kali diusap, dan itu membuatnya merasa aneh.
"Ide yang bagus, sebenarnya," jawab pemuda itu lirih. "Kalau begitu, aku ke atas sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]
Mystery / ThrillerSeharusnya Connor berteriak malam itu, memberi tahu semua orang bahwa ia memiliki jawaban dari teka-teki yang dicari-cari. Namun ia bungkam, menyimpan teriakan itu dan menyakiti dirinya sendiri. Ibunya tidak seperti yang lain, dan Connor tidak dapat...