VI

269 79 11
                                    

"Ibu...."

"Kau menatap ponselmu itu lebih lama dari biasanya." Ia menghampiriku dengan langkah lebar. "Keberatan jika aku duduk di sebelahmu?"

"Ti-tidak." Aku menggeser tubuhku, memberikan tempat untuknya. Dari nada suaranya, ia terdengar tidak senang. Apakah ia sudah mengetahuinya?

"Tidak biasanya aku bangun tengah malam begini," ujarnya pelan. Ia menempatkan dirinya di sampingku. Rambut pirangnya terlihat kusut. Bahkan wajahnya terlihat agak datar; lesu. "Conny, buatkan aku secangkir kopi?"

Connor mendengkus. Tanpa kesadaran penuh, lelaki itu berdiri dan berjalan ke dapur. Tubuhnya sudah terbiasa disuruh-suruh oleh ibunya, bukan dirinya sendiri. Setelahnya ia membawa cangkir itu ke ruang tengah.

Ibunya sudah menggenggam ponselnya, menatapnya dengan serius.

"Sial, maksudku, Bu--"

"Sebentar," potongnya, "Dawson Pass mempunyai situs seperti ini?"

"Bu, minum kopimu." Connor meletakkan cangkir baru itu ke meja. Wanita itu langsung memberikannya ponsel tadi. Connor segera menyalakan ponselnya dan membuka kata sandinya.

Tutorial Memasak Gwen Wright!

Ia mengembuskan napas lega. Sungguh.

"Ibu tidak berniat untuk tidur lagi?" tanyanya, mengantongi benda itu ke celananya. "Ini masih terlalu pagi untuk bekerja."

"Tidak juga, aku akan melakukan sedikit senam sebelum sarapan. Aidan akan menjemputku nanti."

Connor mengedikkan bahu. Ia sudah merasa tidak aman lagi jika ada ibunya di sana. "... Aku ke kamar sekarang."

Ibunya tidak membalas. Lelaki itu kemudian meninggalkannya dengan langkah lebar. Ketika ia sudah memasuki kamar biru dongkernya, ia mengunci pintu.

Tidak mungkin ia tidur sekarang. Beberapa jam lagi matahari akan terbit. Ia menuju kamar mandi kecil yang terletak di dalam kamarnya. Ia mencuci muka dengan air dengan, menyikat gigi, lalu menampar pipinya.

Ia masih hidup. Bagus.

Sesudahnya ia langsung mengambil ranselnya yang tergeletak begitu saja di atas kasur. Ia membuka jendela kamarnya. Udara dingin menyeruak ke dalam. Ia dapat melihat salju menyelimuti atap di bawah jendelanya.

Setelah memperhitungkan segalanya, ia melompat keluar.

Tidak salah ia masih mengenakan sneakers-nya. Mampus jika ia terpeleset jatuh dari atap dan kepalanya membentur bumi. Perlahan ia menerjunkan dirinya dari sana, kemudian mengusap telapak tangannya.

Ia akan berjalan sebentar sebelum orang-orang terbangun.

Dikarenakan lokasi rumahnya jauh dari daerah ramai penduduk, Connor berlari kecil menuju pusat kota. Ia mengabaikan suara kericuhan di tengah hutan pinus ketika ia melewatinya. Ia tidak akan menoleh. Pandangannya lurus ke depan. Langkahnya tidak terhentikan.

Ia ingin lari dari tempat itu.

Sesampainya ke perempatan jalan raya, ia memelankan langkahnya. Cahaya lampu-lampu makin banyak dari sebelumnya. Langit sudah berubah biru,  tetapi belum ada secercah cahaya menumpahinya. Connor mengeluarkan ponselnya, menatap beberapa notifikasi menghias layarnya. Ia membukanya.

Sekitar lusinan orang me-mention-nya.

InfiniteDollars: @Deviarty sepertinya sudah saatnya kau mulai menyelidiki, Bung.    #DeCusso
    DeTome: Kau percaya pada orang sepertinya?

I, Who Should've Screamed Last Night [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang