1. Bukan Senja Matahari

433 53 5
                                    

Senja mentap bangunan asing di sekelilingnya tempat ia berpijak saat ini. Perempuan itu melenguh pelan. Jadi seperti ini, ya, rasanya menjadi murid pindahan?

Ini sudah hari kedua, dan Senja sebenarnya tidak terlalu memikirkan soal pertemanan, toh sebenarnya ia lebih menyukai hidup secara individual di sekolah. Namun, sejak kemarin ia menginjakan kakinya di tempat ini dan memperkenalkan dirinya di depan kelas, dua teman perempuan yang--kebetulan saat ini berada di depannya--cukup aneh terlihat senang sekali mendekatinya.

Sebenarnya Senja tidak terlalu menyukai pergaulan Ibu Kota seperti yang sering ia lihat di media sosial. Namun setelah kedua orang tuanya meninggal akibat tsunami di Tohoku, Jepang tahun 2011 silam, ia terpaksa harus mengikuti Kakak perempuan satu-satunya kemanapun ia pergi, termasuk sekarang saat Kakaknya harus di mutasi ke Jakarta oleh atasannya untuk pindah bekerja di kantor pusat.

Tidak mudah hidup berdua tanpa orang tua. Namun enam tahun terakhir ini berhasil Senja dan Kakaknya, Bintang, lewati berkat dana asuransi Ayahnya. Empat tahun pertama, mereka masih mempertahankan pembantu yang masih bertahan dan siap membantu mereka dengan sukarela, namun dua tahun kemudian, saat Kakaknya lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, mereka memutuskan hidup mandiri tanpa bantuan asisten rumah tangga dan membuat Senja mau-tidak mau ikut dengan kakaknya karena tidak memiliki alasan "Aku disini sama Bibi, dan nggak perlu ikut ke Jakarta". Iya, tidak bisa.

Hidup berdua dengan kakak perempuannya tidak serta merta membuat Senja dan Bintang tumbuh menjadi gadis feminin dan anggun hanya karena hidup berisikan perempuan dalam satu atap rumah tanpa kehadiran laki-laki, malah sebaliknya. Seolah diajarkan pola hidup mandiri yang tidak bergantung pada bantuan orang tua, kedua perempuan itu tumbuh menjadi perempuan yang kuat. Meski masih sering melakukan hal-hal ceroboh.

Dan sekarang Senja masih setia mendengarkan perdebatan dua perempuan di depannya.

"Pokoknya Senja harus masuk cheers!" Zoya memukul pelan meja kantin setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Apaan sih?" sewot Keira, matanya melotot. "Cheers faedahnya apa? Joget jirit-jirit sambil teriak? Lagi pula panas-panasan begitu, mana mau Senja?"

"Kita lagi butuh flyer, lo tau sendiri, kan, flyer andalan team cheers sekolah lagi vakum gara-gara kakinya masih belum sembuh?! Senja udah pas banget! Gampang!"

"Tunggu, kakinya belum sembuh?" Senja bertanya.

Zoya mengangguk. "Patah kaki,"

"Hah?"

"Tenang, kejadiannya bukan waktu latihan, kok," Zoya yang mengerti maksud Senja saat ini segera memberi klarifikasi. "Itu karena dia kecelakaan motor."

"Iya, kecelakaan setelah balik latihan." Celetuk Keira.

Zoya yang sedaritadi semangat mempromosikan ekskul cheerleader dan membujuk Senja agar bergabung pada timnya hanya mendelik malas pada Keira sambil menyedot air es miliknya, perempuan itu menyibakan rambutnya kebelakang punggung lalu mengangkat ponselnya untuk berkaca, memastikan bandana biru di atas kepalanya masih melingkar dengan sempurna.

Senja sangat menyadari bahwa dirinya tidak sebaik manusia yang tanpa cela. Ia juga seringkali bertinggah absurd dan tidak jelas. Namun, melihat dua orang di hadapannya, ia tidak bisa berkata-kata.

"Senja cocoknya di angklung, pas banget deh pokoknya! Dia kan dari Bandung tuh, Sunda banget, pasti bawa sesuatu yang positif buat tim angklung sekolah yang sebentar lagi mau lomba tingkat Nasional."

Sebenarnya Senja tidak ingin memusingkan hal ini, namun karena kegiatan ekskul disini wajib dan bagian kesiswaan sudah menanyakan tentang keputusan Senja tentang hal ini, terpaksa Senja harus mengikuti salah satu kegiatan ekskul untuk waktu satu tahun kedepan, tepat berakhirnya semester 1 di kelas tiga demi nilai raport kegiatannya tidak kosong ataupun C.

Lingga dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang