Note : Tandai typo(s)
***
Lingga tidak pernah di panggil ke ruang BK. Tidak pernah juga dihukum karena terlambat datang ke sekolah—dibanding itu, ia lebih memilih untuk tidak datang ke sekolah. Lingga juga tidak lupa selalu menggunakan topi dan dasi setiap hari senin, hal tersebut tentu saja tidak menjadi sorotan seperti murid biang onar yang hobinya visit ruang BK tiap minggunya.
Yang orang tahu tentang Lingga di sekolah hanyalah seorang anak dari selebriti terkenal yang lebih memilih sekolah negeri dan meninggalkan sekolah swasta dengan fasilitas tinggi serta bayaran yang selangit. Tapi posisinya tersebutlah yang sewaktu-waktu bisa membuatnya jadi sorotan.
Keduanya—Lingga dan Senja baru saja turun dari motor besar milik Lingga. Waktu kini menunjukan pukul 6:55, waktu dimana gerbang sekolah semakin ramai oleh murid-murid yang nyaris kesiangan. Ini hari Senin, dan pemandangan ini tidak asing untuk murid sekolah yang tidak rela melepas hari liburnya.
"Lingga!!!" teriakan Pak Banu—guru kesiswaan—terdengar dari arah pohon rindang dekat lapangan yang sudah ramai oleh atribut upacara.
Keduanya segera mendekat, Senja berjalan sambil melepaskan jaketnya kemudian memasukan benda itu kedalam tas lalu mengaduk isi tas untuk mencari dasinya.
"Dasi kamu mana?" tanya Pak Banu begitu keduanya sampai dihadapan pria bertubuh gempal itu.
"Ini!" kata Senja begitu menemukan dasinya dan mengangkatnya di hadapan Pak Banu.
"Sebelum berangkat seharusnya kamu sudah rapih, dasi sudah terpakai dari rumah," ujar Pak Banu sebelum lelaki itu menoleh pada Lingga, "Kamu di tungguin dari tadi, lama banget datangnya! Hari ini kan jadwal kelasmu yang jadi petugas upacara!"
"Loh, nggak masalah, dong, pak? Kan saya nggak jadi petugas," balas Lingga santai.
"Kamu kan petugas cadangannya kalau pembaca undang-undangnya mangkir. Temanmu itu, Si Agung, abis kecelakaan motor,"
"Yah, pak, masa harus saya? Saya nggak latihan sama sekali pak, kemarin sibuk sama angklung, tanya aja sama Bu Laila."
"Saya nggak mau tahu, teman-teman kamu udah nunjuk kamu."
"Siapa yang nyuruh, Pak?"
"Genta."
Sialan memang.
"Ayo cepat siap-siap!" lanjut Pak Banu tidak mau di debat, lelaki itu balik melirik Senja yang belum juga memasang dasinya. "Kamu juga, cepet baris ke kelasmu! Pake dasinya, apa perlu dipakein Lingga?"
Perempuan itu hanya mendelik sebal sebelum pergi menuju kelasnya untuk menyimpan tas sebelum kembali lapangan untuk upacara.
***
Terkadang Lingga benar-benar tidak menyukai posisinya sebagai anak artis terkenal. Bisikan peserta upacara tentang gosip dirinya tadi pagi terdengar hingga di depan podium saat ia membacakan pembukaan UUD 1945 dan itu benar-benar membuat dirinya tidak nyaman.
Ini sudah jam istirahat, namun tatapan orang-orang masih saja mencuri pandang kepadanya. Meja kantin yang hanya dikelilingi oleh Lingga, Genta dan Alby kini hanya tersisa piring kosong dan tiga gelas es teh manis yang tinggal setengah gelas.
"Lo udah pikirin ini, kan, Ngga? Alby membuka suara.
"Mikirin apa?"
"Uhm, I mean tentang resiko hubungan lo sama Senja. I know you two still approach to get to know each other bonding, tapi lo jelas paham kan konsekuensi kalau kalian pacaran?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Lingga dan Senja
Teen FictionKepindahan Senja ke Jakarta berhasil menemukan dirinya dengan Lingga dalam satu tempat yang tidak pernah Senja bayangkan, terlebih ketika ia mendapati lelaki itu berada dalam sekolah yang sama dengannya, sekolah barunya, yang lagi-lagi tidak pernah...