9. Nada dan Nyawa

179 34 4
                                    

Ini hari Minggu. Lingga baru saja melirik jam dinding yang menunjukan bahwa sekarang sudah pukul sembilan pagi. Terlalu pagi untuk menyadari bahwa kini lelaki itu sudah bangun, mandi dan siap untuk pergi menuju sekolah.

Untuk latihan.

"Kamu mau bawa motor atau mobil?" Ibunya yang baru saja keluar dari kamar dengan masker wajah dan roll rambutnya bertanya pada Lingga yang masih duduk di meja makan.

"Mobil, Ma. Pulangnya aku mau pergi lagi sama Genta-Alby, mau nyari sepatu."

"Buat apa?"

"Ya buat dipake."

"Ditanya sama orang tua itu yang bener jawabnya, kamu ini!" Sewot Ibunya yang kini mencari posisi duduk yang nyaman di seberangnya sambil membenarkan letak maskernya-yang menurut Lingga lebih mirip dengan kertas basah.

"Ya Mama nanya suka aneh," Lingga terkekeh. Lelaki itu menyeruput susu coklatnya sebelum kembali bertanya, "Nggak kerja?"

Ibunya menggeleng, "Tapi siangan mau ketemu Tante Maudy, abis itu mau ke GI."

"Yaudah, Lingga berarti jangan ke GI hari ini."

Ibunya hanya berdecak sebal dengan mata mendelik sementara Lingga malah sibuk terkekeh tanpa rasa bersalah. Lelaki itu pamit pergi dan mencium punggung tangan Ibunya sebelum benar-benar meninggalkan rumah.

Mendengar bahwa Lingga akan bergabung dengan tim angklung sekolah, Ibunya menyambut berita itu dengan sangat antusias. Membicarakan hal tersebut pada ayahnya tanpa bosan seolah itu adalah pencapaian terbesarnya. Dan Lingga hanya bisa menjauh ketika percakapan tersebut kembali dimulai Ibunya.

Omong-omong, Tante Maudy yang Ibunya maksud tadi adalah temannya semasa SMA. Jika mempunyai waktu luang, dua perempuan itu memang sering menghabiskan waktu berdua. Belanja, makan, pergi ke salon, dan hal-hal lain yang berbau wanita.

Sebisa mungkin jika sudah seperti itu Lingga akan menghindar karena sudah pasti dirinya akan diminta untuk mengantar Ibunya. Beruntung kali ini ia tidak perlu menghindar karena akan pergi ke sekolah. Iya, ini keberuntungan, kan?

***

Setelah menunggu selama hampir satu jam, akhirnya Keira menjemputnya menggunakan motor maticnya. Rencana awalnya, Keira akan diantar oleh supirnya menuju apartemen Senja lalu pergi bersama ke sekolah untuk latihan. Namun rencana memang hanya sebuah rencana, supirnya hari ini bangun kesiangan dan membuat Keira mau tidak mau berangkat sendiri menggunakan motornya.

Sebetulnya permasalahannya bukan disitu.

Senja sudah mengatakan agar Keira segera pergi dengan menggunakan motornya, namun perempuan itu tetap keras kepala untuk menunggu supirnya datang-supirnya tidak tinggal di rumahnya, omong-omong. Dan pada akhirnya mereka pergi ke sekolah sesuai dengan apa yang Senja usulkan sedari tadi.

Memang benar-benar, perempuan yang satu ini.

Setibanya di sekolah, Keira memarkirkan motornya di parkiran khusus yang berada di dalam sekolah lalu keduanya berjalan berdampingan dengan masing-masing membawa satu gelas hot mochacinno yang mereka beli dalam perjalanan ke sekolah.

"Emang tim angklung nggak punya vokalis tetap, ya?" Senja bertanya pada Keira yang berjalan di sampingnya.

Keira menggeleng. "Ada sih yang suka ngisi vokal, cuma dari anak band."

"Aliran pop, dong?"

"Angklung juga suka mainin lagu pop kok, cuman kebanyakan lagu Sunda aja. Sama dangdut paling,"

"Dangdut?"

Keira mengangguk. "Lo nggak tau, sih. Kalo Bu Laila yang bikin aransemennya, mau lagu apa aja keren."

Lingga dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang