16. Masih di Rumah Lingga

156 19 1
                                    

Mata Lingga tidak berhenti lepas dari gerak-gerik Senja yang tadi baru saja menghembuskan nafas lega setelah menyelesaikan nada terakhir nyanyiannya.

Lelaki itu bisa melihat Senja tersenyum canggung pada Ibunya yang tengah duduk di kursi tinggi di dekat dinding. Sementara Ibunya yang semula bersandar pada badan kursi, kini duduk lebih tegak. Kertas berisi lirik lagu yang ia gulung kini ditaruh di atas pahanya sebelum bertepuk tangan untuk Senja.

Lingga ikut tepuk tangan. Lelaki itu menyugar rambutnya kebelakang sambil terus tersenyum ke arah Senja. "Nggak pernah ngecewain." Ucapnya pada Senja serius.

Senja menoleh, menaikan sebelah alisnya dengan tatapan sangsi. "Yakin?"

Lelaki itu mengangguk. "Tanya dah sama pakarnya."

Ibunya Lingga tampak mengangguk sambil tersenyum. "Suara kamu soooooft banget, Tante suka. Apalagi soal rasa, nggak bisa diganggu gugat. Soal nada juga nggak banyak meleset, malah nggak kedengeran salah sama sekali. Masalah tempo oke juga. Cuma tadi ada yang pas narik nafas ketara banget, bisa dibenerin!" komentar Ibunya lalu memberi dua jempol untuk Senja. Tidak heran mengapa Ibunya bisa menjadi juri pada ajang bakat bernyanyi dua tahun silam, ia memang paling peka, dan bisa menyampaikan pendapatnya dengan apik.

"Tapi, Tan..., kemarin aku dikasih evaluasi sama pelatih soal masalah cengkok. Menurut tante gimana?"

"Hmm..." perempuan berumur yang masih terlihat sangat muda itu kini melipat kedua tangannya di depan perut. "Memang untuk masalah cengkok masih begitu kurang show up tapi itu kebantu sama improve lain yang kamu mainkan di lagu itu. Kalau menurut tante, kamu cuma kurang berani ngambil momen untuk ngasih variasi di cengkoknya kamu. Be confident aja, kalo begitu tante yakin kamu lebih bagus dari tadi. Banyak-banyak nonton video di youtube tentang cengkok lagu sunda, it will help a lot."

Senja tersenyum, senyum yang bikin Lingga yang tadinya menatap perempuan itu kini malah menatap keyboard di depannya sambil menekan-nekan tuts secara asal.

Jadi deg-degan.

"Makasih, Tante."

"Sama-sama." Balas Ibunya. "Aaaaaaah, tante nggak sabar liat kamu nanti. Pasti keren banget."

"Tante... nonton?"

Lingga kembali melihat Ibunya mengangguk antusias. "Pasti, dong. Iya, kan, Dek?"

Lelaki itu memutar bola matanya sebal. Dalam hati ia malah berdoa agar Ibunya memiliki jadwal dadakan hari itu.

"Mama udah bilang sama Tante Oka buat nggak nerima job tanggal segitu. Khusus Mama kosongin buat nonton kalian." Katanya nyengir lebar.

Oh Tuhan.... Asal kalian perlu tahu, Tante Oka adalah seorang manager yang sangat nurut apa kata artisnya. Jika Ibunya bilang ingin libur untuk satu bulan kedepan, hal itu akan dituruti sepenuhnya walau setelah itu jadwal Ibunya telah mengantre panjang.

Tidak lama Ibunya pamit dengan alasan membantu bibi untuk menyiapkan makanan, dan meninggalkan ia dan Senja berdua di ruangan berukuran 10x10m ini.

Lingga masih di posisinya—dibelakang keyboard, sementara Senja kini beranjak dari kursinya, berjalan mengelilingi studio musik yang sering digunakan oleh ia dan ibunya.

Perempuan itu berhenti di depan lemari kaca dua pintu yang berisikan beberapa piagam, piala, dan plakat yang diperoleh Ibunya selama menjadi musisi. Senja memperhatikan lamat-lamat, bibirnya tersenyum saat membaca beberapa nominasi yang dimenangkan oleh Ibunya.

"Nyokap lo keren." Kata perempuan itu kemudian berbalik, berjalan untuk mengambil gitar akustik dan kembali berjalan menghampiri kursi yang ia duduki semula. "Gue udah liat beberapa piala waktu masuk rumah lo, disini masih ada juga." lanjut Senja setelah berhasil duduk sambil memposisikan gitar.

Lingga dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang