Latihan sudah berajalan selama satu bulan. Berbeda seperti sebelumnya, kini Lingga selalu menyambut latihan dengan suka hati.
Bu Laila menempatkannya di bagian perkusi, yaitu contra bass. Mulanya, ia ditunjuk untuk memainkan cajon, namun Lingga menolak karena untuk posisi tersebut selain memainkan cajon, ia juga harus menguasai gendang yang dimainkan bergantian saat lagu berganti dari pop sunda menjadi pop modern.
Latihan selanjutnya akan dilaksanakan lusa, namun Lingga saat ini sudah merasa antusias karena sekarang adalah jadwal pengukuran untuk membuat kostum yang akan dipakai saat lomba.
Di dekat pintu ruang kesenian, Lingga bisa melihat Farel—salah satu temannya di sini—yang baru saja keluar ruangan dan memakai sepatunya. Lingga berjalan menghampiri lalu menepuk pundak lelaki itu.
"Yang lain mana?" tanyanya.
"Pada langsung cabut," jawab Farel.
"Udah pada beres?"
"Sebagian doang, sih."
"Yang cewek?"
"Ada di dalem."
Refleks, Lingga mengintip lewat pintu yang memang terbuka. Ia bisa melihat Senja di sana, sedang tertawa bersama Keira. Tangan perempuan itu memainkan botol kosong air mineral sambil sesekali melayangkan benda tersebut pada Keira.
Bu Laila memang memberi pesan pada Senja untuk berhenti minum air dingin terlebih dahulu. Tidak heran jika saat ini Lingga lebih sering menemukan perempuan itu dengan air mineralnya yang tidak dingin.
"Ada noh, si Senja di dalem." Celetuk Farel membuat Lingga kembali menoleh ke arahnya.
Lingga terkekeh kecil sementara Farel yang sudah selesai memakai sepatunya hanya menepuk pundak Lingga dua kali sebelum berlalu.
"Mau kemana?" Tanya Lingga.
Farel menoleh namun lelaki sambil terus berjalan, kemudian berteriak, "Kantin!" katanya.
Lingga hanya menggeleng pelan sebelum melepas sepatunya dan masuk kedalam.
***
Sepanjang perjalanan, Senja terus saja merutuki kebodohannya ini. Perempuan itu baru saja sampai di apartemennya, namun ia teringat bahwa ponselnya tertinggal di ruang seni. Ck, kebodohan mana lagi yang lebih bodoh dari kelupaan ponsel yang sudah menjadi hal terpenting di era milenial ini?
Dari jauh, ia bisa melihat beberapa sepatu yang masih berada di rak dekat pintu ruang seni yang tertutup. Senja mempercepat langkahnya, rambut yang sengaja ia ikat kini sudah tidak berbentuk dengan anak rambut yang menempel pada sisi wajahnya.
Sampai di depan pintu dengan napas yang tersenggal, Senja melepaskan sepatunya dengan cara menginjak kedua ujungnya tanpa susah-susah membungkuk untuk melepas talinya terlebih dahulu. Perempuan itu membuka pintu dan langsung merasakan hawa dingin dari pendingin ruangan yang menyapu wajahnya. Tidak memikirkan sepatunya yang belum ia simpan di rak, Senja langsung masuk kedalam dan kembali menutup pintu ruangan.
Sialan.
Rasanya ia menyesal masuk kedalam tanpa memperhatikan apa saja yang berada di dalam ruangan.
Lingga ada disana, sedang menyetel ulang contra bass bersama salah satu anggota angklung yang Senja lupa namanya karena memang belum berkenalan.
Lelaki yang saat ini menyadari keberadaanya mengangkat kepala kemudian bertanya, "Kenapa?" Katanya.
Senja mengerjapkan kedua matanya kemudian menatap seisi ruangan tanpa menjawab pertanyaan Lingga.
"Nyari apa? HP, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Lingga dan Senja
Teen FictionKepindahan Senja ke Jakarta berhasil menemukan dirinya dengan Lingga dalam satu tempat yang tidak pernah Senja bayangkan, terlebih ketika ia mendapati lelaki itu berada dalam sekolah yang sama dengannya, sekolah barunya, yang lagi-lagi tidak pernah...