14. Tertekan

188 22 2
                                    

Sudah lima kali Lingga memperhatikan Senja yang menangkupkan sebelah tangannya di depan mulutnya yang menguap dengan mata suntuk.

Suara Pak Pandji yang memimpin latihan hari ini kembali membuat perhatian Lingga teralihkan. Lelaki itu menghela napas pelan sebelum membenarkan letak contra bass yang sedikit merosot.

"Tolong bedakan getaran keras dan kasar. Saya minta suara berani namun tetap halus, lembut, memakai perasaan, diselaraskan." Katanya kembali mengingatkan tim angklung yang menggetarkan alatnya dengan bar-bar.

Hari ini hari Rabu, jadwal latihan angklung yang sudah memasuki minggu keenam. Untuk mempermudah latihan, Tim angklung dibagi menjadi dua, kelompok yang memegang alat angklungnya sendiri sebagai komponen utama musik ini, dan tim pengiring yang berisikan pemain akompanimen, gambang, gendang, dan contra bass.

"Coba tim pengiring jangan dulu ikutan, kira rapihin dulu komponen utama dalam tim ini." Katanya tegas yang diberi helaan napas lega oleh para tim pengiring, sementara Antika selaku konduktor sudah terlihat sangat kesal karena pasukannya yang belum memahami gerak tangannya.

Pasalnya, ini sudah tidak terhitung keberapa kalinya mereka memainkan lagu yang belum selesai satu bait itu. Nyaris memasuki baris selanjutnya, permainan kembali dihentikan karena tim angklung kembali melakukan kesalahan dan latihan hanya menjadi berulang-ulang tanpa menunjukan progress yang signifikan.

"Boleh istirahat dulu, Pak? Salat asar." Tanya Jojo yang sedaritadi keberadaannya tidak terlihat karena berdiri dibalik gambang yang terletak di belakang para pemegang angklung.

"Boleh, nanti gantian istirahatnya, tim angklung istirahat, tim pengiring kita mantepin aransemen lagi." Ucap Pak Pandji. "Vokalis juga istirahat sekarang aja," lanjutnya melirik Senja yang Lingga perhatikan tengah berusaha terlihat tidak mengantuk dengan sedikit melebarkan matanya. Lucu.

Perempuan itu mengangguk, kemudian berjalan keluar ruangan yang disusul oleh tim pengiring. Begitu sampai di luar ruangan, Lingga bisa melihat Senja yang langsung berjalan menuju kantin. Beberapa tim pengiring yang memang laki-laki semua langsung menuju masjid, termasuk Jojo yang tadi bersuara.

Melihat Rangga dan Zilal yang belok ke arah kantin, Lingga segera menghampiri dua temannya itu. "Nggak Asar, lo?" Tanya Lingga menyikut pelan lengan Zilal begitu ia sampai di sebelah lelaki itu.

"Belum mandi." Cengirnya diikuti kekehan Rangga.

"Nih, bocah satu ini juga nggak solat, nggak pernah malah, padahal umurnya udah hampir tujuh belas tahun." Tunjuk Zilal pada Rangga. "Astagfirullah...," lanjutnya bergumam.

"Bego," respon Lingga di setujui oleh Rangga dengan kekehan yang masih terdengar dari bibirnya.

"Hehe, sori-sori, bercanda Ngga, jangan baper ya!" katanya nyengir lebar, padahal semua juga sudah tahu jika Rangga adalah Katolik, namun kadang bercandaan Zilal ini tidak memiliki filter, untung Rangga santai-santai aja.

Percakapan berhenti saat ketiganya sampai kantin, Lingga menatap isi kantin dan melihat Senja yang tengah duduk sendirian sambil memainkan ponselnya. Segelas es kopi berada di depannya yang Lingga tebak baru perempuan itu minum sedikit.

Langkahnya mendekati Senja yang memang sejak awal menjadi tujuan Lingga ikut ke tempat ini. "Nggak Salat, Lo?" tanyanya duduk di tepat di depan Senja.

Perempuan itu menggeleng. "Lagi dapet."

"Dapet hadiah?" godanya yang dibalas mata mendelik oleh Senja.

Melirik kopi yang berada di depan Senja, Lelaki itu berjalan menuju warung nasi di pojok kantin, memesan satu porsi berisi lauk yang tinggal seadanya mengingat jam sudah menunjukan pukul empat. Setelah itu, ia membawa piring pesanannya dan segelas teh hangat dan kembali duduk di depan Senja, meyerahkan piring dan gelas yang ia bawa tepat di depan perempuan itu.

Lingga dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang