DIDI

7.6K 455 3
                                    

Senja diperbatasan, seorang gadis berdiri tertegun seorang diri. Ia terlihat masih menggenggam sebuah kertas kumal ditangannya. Sisa keringat dan minyak bekas gorengan pada telapak tangannya, melekat pada kertas yang terlipat.
Sebuah tas besar lusuh yang sama-sama dekil, nampak teronggok disebelahnya. Sementara hari, bergeser semakin redup.
Si gadis dengan wajah kelelahan, menatap lurus pada sebuah rumah di seberang jalan.

Dua hari sudah gadis itu menjelajahi Kota besar ini, demi mencari sebuah alamat yang tertulis dalam kertas tersebut, yang Ia bawa dari kampung asalnya.
Sesekali Ia melenguh, napasnya terdengar berat. Ternyata mencari alamat di Kota besar tak semudah mencari alamat di kampung halamannya.
Orang-orang di Kota tak seramah warga di kampung. Setiap kali gadis itu bertanya kepada siapa saja yang berpapasan dengannya, jawabannya selalu tidak tahu. Padahal, gadis itu belum menjelaskan alamat yang tengah dicari olehnya.
Nampaknya orang kota terlalu banyak urusan dan pikiran, sehingga sekedar memberi jawabanpun mereka enggan.

*

Kini, setelah susah payah gadis tersebut menelusuri, alamat yang dicari sudah ada di depan matanya. Ia yakin jika bangunan besar itulah yang ia cari. Sebuah rumah yang berdiri angkuh di perbatasan Kota, menampakkan ketidak ramahan. Namun lebih dari itu, gadis itu melihat sesuatu yang lebih tak ramah dari pada sekedar pagar besi tinggi yang seakan dengan sengaja menutup diri dari para tetangga dan orang-orang disekitarnya.

Bukan sesuatu!

Namun lebih kepada seseorang yang diam-diam mengintip dari balik tirai. Tatapannya jelas mengarah kepada dirinya, sebuah tatapan nyalang yang sukar dimengerti oleh nalar manusia biasa.

Dialah Didi, seorang gadis muda yang menerima tawaran seseorang untuk bekerja merawat rumah mewah tersebut.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah, sebab ini adalah sebuah tugas yang tidak biasa. Dimana asal usul rumah tersebut mempunyai histori yang cukup panjang, dan menyeramkan. Tetapi lebih kepada sebuah tuntutan hidup, yang pada akhirnya memaksa Didi saat ini berada di Kota besar itu.

Orang tua Didi yang terbelit hutang kepada lintah darat, adalah satu-satunya alasan Didi untuk menerima tawaran itu. Tawaran Bu Sari, pemilik rumah mewah tersebut yang pada saat ini bahkan sejak lama sekali, bahkan sebelum Didi lahir, sudah menetap di kampung, untuk merawat rumah di kota besar yang sudah tak berpenghuni sejak Dua puluh tahun yang lalu.

Didi dan bahkan semua orang dikampung sering mendengar cerita tentang rumah tersebut, dari beberapa orang dewasa di kampung, yang sama-sama pernah mencoba peruntungan dengan menerima tawaran Bu Sari untuk bekerja merawat rumah tersebut.
Gaji yang sangat besar, menjadi satu-satunya alasan bagi Mereka yang putus asa, setelah pekerjaan atau hasil tani di kampung tidak memberi keuntungan.

Ya, Tiga dari mereka pulang tinggal nama. Dua lainnya sakit jiwaa, dan Dua lainnya lagi hilang tanpa jejak, bahkan hingga saat ini.

Orang tua Didi pun sebenarnya tidak pernah mengijinkan Didi untuk menerima tawaran tersebut, namun mereka tak punya pilihan lain sebab keadaan yang memaksa, kecuali Mereka mengantarkan Didi dengan doa, dan linangan air mata.
Tekad Didi sudah bulat, ia mulai jengah dengan para penagih hutang yang sudah keterlaluan terhadap Bapak dan Ibu pada saat menagih hutang.
Dengan modal itulah akhirnya Didi memberanikan diri untuk menemui Ibu Sari, dan meminta pekerjaan tersebut. Pada awalnya memang Bu Sari ragu, meski tentu saja ia senang karena akhirnya rumah miliknya pasti terawat baik oleh Didi, yang notabene seorang Anak yang rajin.
Singkat kata, setelah berbicara banyak dengan Bu Sari, berangkatlah Didi menuju kota.
Bapak, memberinya sebuah Jimat sebelum Didi berangkat ke Kota, yang konon menurutnya, dipercaya mampu menangkal segala gangguan makhluk ghaib.

*

Setelah mengucap Basmallah, gadis berusia Delapan belas tahun itu melangkah pasti. Menyeberang jalan, dengan kunci rumah berada dalam genggaman tangannya yang masih berkeringat.
Sekali lagi, tekadnya sudah bulat. Apapun resikonya, Ibu dan Bapak jauh lebih membutuhkan bantuannya ketimbang perasaan takut yang tumbuh kian subur di dalam pikirannya saat ini.

*

"Assalamualaikum..." Didi mengucap salam setelah memutar anak kunci, sembari membuka pintu.

KREKKKK

Pintu kayu yang Tiga kali lebih tinggi dari pintu mushala di kampungnya tersebut, berderak cukup keras.
Entah sudah berapa lama pintu tersebut tak dibuka. Jika tidak salah, sejak Satu tahun yang lalu semenjak Mang Udin, penjaga rumah terakhir pulang ke kampung dengan membawa luka bakar disekujur tubuhnya.

Katanya, pria tua itu dibakar oleh hantu penunggu rumah.

Didi mengedarkan pandangan, mencari stop kontak yang ternyata berada di samping daun pintu. Ia menyalakannya, dan seketika teranglah seisi rumah tersebut.

Didi mengedarkan pandangannya, menatap Satu persatu setiap sudut dan bagian di dalam rumah besar itu.

'Tak ada yang mengerikan...' bathinnya.
Di dalam rumah tersebut wajar-wajar saja. Layaknya sebuah rumah yang terdapat ruang tamu dengan sofa empuk serta bantal-bantal kecil tersusun rapi di atasnya, hiasan dinding, lemari kaca yang berisi pernak pernik dari berbagai Negara, ruang keluarga, sebuah Televisi besar, permadani, bahkan ruang makan lengkap dengan perabotan nampak tertata dengan rapi. Sekali lagi, tak ada Satupun yang 'aneh' di dalam rumah tersebut. Setidaknya, Didi dapat bernapas lega sebab hal itu tak seburuk apa yang ia pikirkan sebelum masuk ke dalam rumah milik Ibu Sari.

Didi tersadar, hingga pandangannya tertegun pada sebuah lukisan. Yang menampilkan sosok seorang perempuan dengan wajah sendu, yang seakan menyambut kedatangan Didi di rumah itu. Perempuan di dalam lukisan itu mengenakan kebaya berwarna merah marun. Ditangannya, terlihat Ia menggenggam setangkai mawar putih. Rambutnya dicepol tinggi, nampak jauh lebih cantik untuk ukuran Ibu-Ibu di kampung Didi.

Tatapan Didi kemudian beralih pada Sebuah pigura besar, yang menggantung kokoh di dinding yang lainnya. Didi melangkah perlahan, suara langkah kakinya menggema diseisi ruangan hening tersebut. Ia berjalan mendekati pigura besar tersebut, hanya demi bisa menatap dengan seksama satu persatu wajah mereka.

Didi tertegun, wajah orang-orang di dalam pigura tersebut tak Satupun dikenali oleh Didi, kecuali seorang gadis kira-kira seumur dirinya, dengan tahi lalat cukup mencolok di hidung kirinya, menyita perhatian Didi. Persis seperti tahi lalat milik Ibu Sari.

'Itu pasti Bu Sari saat masih muda ...' gumam Didi sembari mengangguk-anggukkan kepala.

Didi kembali beringsut, menyeret tas besarnya menuju ke ruangan yang lainnya, dimana terdapat sebuah tangga yang menghubungkan rumah tersebut ke lantai Dua.
Ibu Sari, memang sudah meminta Didi untuk menempati salah satu kamar yang berada di lantai Dua, Ia bahkan menjelaskan secara rinci, kamar mana yang harus ditempati oleh Didi.
Dengan perasaan sedikit gelisah, Didi berjalan menuju kamar dimana seharusnya ia berada. Ya, Didi lelah dan ingin segera beristirahat.

Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang