Ketukan Dipintu Rumah

2K 216 4
                                    

Didi sudah tiba kembali di rumah angker. Ya, begitulah ia menamai rumah tersebut. Mereka tiba di rumah Bu Sari ketika hari sudah mendekati pagi.
Edward berkali-kali meminta Didi untuk mencari kost-kost an saja, dan setiap siang hari, Didi masih bisa mengurus rumah tersebut. Namun Didi membantah mentah-mentah usulan Edward. Rumah ini adalah tanggung jawabnya. Maka apapun yang terjadi, Didi harus berada di rumah ini.

"Aku temani kamu malam ini, ya?" pinta Edward. Didi menggeleng.

"Aku akan baik-baik saja, Edward, percayalah. Lagipula, sebentar lagi pun sudah pagi," tolak Didi pelan.

Ia berusaha meyakinkan pria tersebut. Edward menyerah, ia akhirnya pulang setelah keduanya mencapai sebuah kesepakatan. Bahwa esok hari, mereka akan memulai kembali pencarian soal perempuan dalam lukisan tersebut.

*

'Selamat datang kembali gadis pemberani...'

Didi meraba tengkuknya, telinganya mulainmendengar suara-suara itu lagi. Sedikit rasa ciut kembali menghampiri Didi, namun ia tak peduli, Didi tetap melanjutkan langkahnya.
Sepintas sih memang mudah saja, Edward sudah melunasi semua hutang-hutang keluarganya, lalu untuk apa Didi kembali ke rumah angker itu?
Mestinya menikmati saja kebebasannya di kampung halaman. Dengan tawa riuh Adik-adiknya, atau bercengkerama setiap waktu dengan Bapak dan Ibu.
Namun semua itu tak semudah yang dipikirkan. Didi, nyatanya sudah membuat SEBUAH PERJANJIAN dengan penunggu rumah tersebut. Sebuah perjanjian tak tertulis, yang tidak pernah ia bocorkan kepada siapapun.

Didi harus menyelesaikan tugasnya di rumah itu, karena jika tidak, bukan hanya keselamatan dirinya yang terancam, tapi juga Ibu Sari, Bapak, Ibu, Adik-adiknya, dan mungkin saja Edward serta Muti.

Ngomong-ngomong soal Muti, Didi duduk menekur di anak tangga. Sambil menatap lukisan perempuan yang masih misterius itu.

Muti dan Edward, Didi memang tidak tahu banyak soal keduanya. Sejak kapan mereka berteman, atau ada hubungan apa diantara keduanya.
Namun seingat Didi, Edward dan Muti nampak dekat, bahkan dekat sekali.

'Jika tak ada hubungan apa-apa, kenapa perempuan dalam lukisan itu seolah membenci Muti? Apa karena Muti dekat dengan Edward? Atau jangan-jangan...'

Tok Tok Tok

Suara ketukan di pintu rumah mengagetkan Didi. Didi menatap jam yang tergantung, Pukul Dua dinihari.
Siapa yang bertamu malam-malam begini?

Didi melangkah ragu menuju pintu. Kemudian membukanya perlahan, dan menjulurkan kepala. Namun ia tak menemukan siapapun di luar rumah, dan Didi yakin ini ada sesuatu yang tidak beres. Didi berbalik, kemudian menutup lagi pintu dan menguncinya.

Tok Tok Tok

Dua langkah kemudian kakinya terhenti.
Didi memejamkan mata, mencoba mempertajam penglihatannya.

Tok Tok Tok

Didi melangkah lagi, dan membuka pintu. Muti, gadis itu berdiri di ambang pintu, menatap Didi dengan wajah cemas.

"Kenapa lama sekali?!" seru Muti kemudian menyeruak masuk. Didi mengernyit,

'Lama?
Bukankah tadi ia sudah membuka pintu? Dimana Muti tadi itu?
Ah ini sangat aneh sekali!'

Muti menghempaskan tubuhnya di sofa. Gadis itu merekatkan jaket ditubuhnya, lalu menatap Didi yang sedang berjalan ke arahnya.

"Kamu habis dari mana? Kenapa malam-malam sekali datangnya?" tanya Didi. Muti membalas tatapan Didi, kemudian bibirnya mengerucut.

"Aku, katamu? Harusnya Aku yang bertanya, Kamu kemana saja? Tidak masuk kerja, di rumah pun tidak ada. Kamu tahu, Aku sudah Tiga kali datang kemari dan kamu tak ada!" ceritanya.
Didi terkekeh, ia kemudian duduk di samping Muti.

"Maafkan aku, sejak malam tadi aku pergi dengan Edward," jawabnya.
Didi mengernyit.

"Edward? Kau serius? Kalian kemana? Kenapa tidak mengajakku?" cerocos Muti. Gadis itu menatap Didi lekat.

"Bukan kemana-mana, hanya mengantarku pulang," jawab Didi.

"Pulang? Hhmmm aku curiga kalian ada apa-apa..." gumam Muti sambil mengetuk telunjuk didagu.

Wajah Didi memerah, gadis itu tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangan.

"Tidaklah, Edward hanya mengantarku pulang dan, sudah!" elak Didi.

Ia sengaja tak menceritakan apapun soal kejadian di kampung. Terlebih, perkara hutang Bapak yang dilunasi oleh Edward. Bukan apa-apa, Didi hanya malu, dan toh ia pun sudah berjanji akan membayarnya, meski dengan cara bagaimana pun.

Sementara itu, Muti, gadis itu kini sudah lupa akan tujuan awalnya datang ke rumah itu...

*

Sebentar lagi pagi, dan malam ini Muti menginap di rumah Bu Sari. Didi lupa tidak menanyakan lebih jauh, kenapa bisa Muti datang menemuinya selarut itu. Mungkin karena Didi lelah, ditambah karena sejak tadi keduanya sibuk bercerita tentang depot dan pelanggan yang membludak, sehingga Muti kerepotan melayani pembeli, akibat Didi yang bolos kerja.

Mereka berdua tidur satu kamar di dalam kamar Didi.
Didi, sudah lelap sejak Setengah jam yang lalu.

Kreek

Pintu kamar dibuka perlahan. Muti berjingkat keluar, setelah memastikan jika Didi sudah benar-benar tertidur pulas.

Dadanya bergemuruh, perempuan itu berjalan berjingkat, dan berhati-hati. Satu demi satu langkahnya ia hitung, sambil menahan napas.
Beberapa saat kemudian Muti diam tertegun, di hadapan Dua kamar yang saling berdampingan.

'ini...'

Bathinnya, seraya melangkah menuju kamar yang ia maksud.
Muti memejamkan mata, ketika tangannya menyentuh panel pintu.
Tak berapa lama kemudian, Muti tersentak, matanya membulat dan darahnya berdesir, ketika tiba-tiba ia merasakan, seseorang menyentuh pundaknya.

Muti berbalik cepat, dengan kedua mata terpejam.

"Muti, apa yang kau lakukan?!" Didi berdiri di hadapannya, dengan kedua alis mengkerut menatap wajah Muti.
Wajah Muti memucat, perlahan kedua matanya terbuka, ia mengembuskan napas panjang.

"Oh My God, kupikir hantu!" teriaknya, setelah melihat kedua kaki berpijak.

"Didi... Ada seseorang sedang menangis dikamar ini. Tadinya Aku mau ke kamar mandi, tapi penasaran karena ada suara tangisan, makanya aku buru-buru kesini," lanjut Muti.

Didi mengerang panjang, lalu menyeret lengan Muti untuk kembali ke kamar.

Brugghh

Didi menutup pintu kamar.

"Dengar Muti, Aku mohon jangan masuk ke dalam kamar itu, dan kamar manapun juga di rumah ini!" ucap Didi dengan tegas, sambil menyilang dada dan menatap Muti dengan tajam. Didi tidak pernah berbuat seperti ini sebelumnya, tapi ulah Muti dirasa Didi sudah keterluan. Bukankah tidak sopan, bertamu ke rumah orang dan bertindak seenaknya?

Muti mengernyit.

"Kenapa memangnya?" tanyanya kemudian.

Didi menahan napas, ia takkan menceritakan apapun pada Muti. Entahlah, Didi agak curiga pada gadis tersebut.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melaksanakan apa yang sudah di amanatkan padaku. Tolong, hargai aku sebagai perawat rumah ini, Muti!" jelas Didi.

Muti mendesah, senyumnya berubah sinis.

"Begini?! Jadi begini yang kamu inginkan, Didi? Kamu ingin menyembunyikan segalanya dari Aku? Sementara itu, kamu menceritakan pada Edward tentang segalanya!" hardik Muti.
Ia berdiri dari tepi tempat tidur, dan mendekati Didi.

"Aku akan bersikap baik dan jujur hanya kepada orang yang bersikap sama padaku. Begitupun sebaliknya. Mengerti?" gumam Muti dengan wajah begitu dekat dengan Didi.

Kemudian gadis itu berbalik dan berjalan keluar kamar, setelah mengambil tas serta jaket miliknya. Terdengar Muti membanting pintu, sementara Didi hanya memejamkan mata kemudian mengembuskan napas panjang.

Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang