Didi berjalan sangat cepat, melewati jalan-jalan kecil diperbatasan Kota. Ia harus buru-buru tiba di rumah, firasatnya mengatakan jika Ibu Sari akan menemuinya.
Didi buru-buru masuk ke dalam rumah, kemudian mengunci lagi pintu. Ia bergegas menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti baju. Beberapa menit kemudian Didi keluar, niatnya memang untuk ke kamar mandi.
"Jadi, begitu yang kau lakukan selama ini?!" Didi hampir saja jafur terjengkang. Suara perempuan yang sangat dikenal oleh Didi tiba-tiba membuat gadis itu terhenyak. Ia benar-benar terkejut, melihat Ibu Sari yang tiba-tiba saja sudah berdiri menyilang tangan, di bawah anak tangga.
Didi menundukkan kepala dalam-dalam."Nya Nyai, Aku..." Didi tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Ibu Sari menghampiri Didi, ia menatap lekat wajah gadis itu."Didi, kenapa Kau tidak mau mendengarkan Aku?" tanya Ibu Sari. Didi mengangkat wajahnya perlahan.
"Maafkan Aku, Nyai. Aku, Aku hanya keluar sebentar untuk...
"Cukup! Kau pikir, Aku tak tahu apa yang kau lakukan?" potong Bu Sari dengan wajah begitu dekat dengan Didi. Sehingga napasnya terasa menyentuh wajah Didi. Ia kembali menahan napas, memejamkan mata beberapa detik.
"Maafkan Aku, Nyai. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk turut campur urusan Nyai, tapi... Mereka sering sekali mendatangi Aku dan... Aku..." Didi menghentikan lagi ucapannya. Ia menangis pelan.
Ibu Sari menghela napas panjang, ia melangkah menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya disana.
"Didi, kemarilah..." ujarnya pelan.
Didi mengangguk, kemudian berjalan dan duduk di hadapan Ibu Sari."Apakah Kau benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bu Sari. Didi mengangguk.
"Aku akan menceritakan sedikit hal yang terjadi puluhan tahun silam kepadamu..." ia menghentikan ucapannya, kemudian...
"Selama berpuluh tahun Aku menyimpan kisah kelam ini seorang diri. Hingga pada akhirnya aku menemukanmu yang berbeda dengan yang lainnya ..."
"Berbeda, maksud Nyai?" potong Didi.
"Aku tahu kau adalah seorang anak yang taat beribadah, Aku juga tahu Kau bisa melihat apa yang tidak dapat terlihat oleh manusia pada umumnya. Benar kan?" tanya Ibu Sari.
Didi menatap perempuan tua tersebut. Kemudian mengangguk pelan."Rumah ini, rumah ini adalah saksi dari kelamnya hidup para orang tua dimasa lalu..." Ibu Sari menerawang jauh. Menatap lukisan perempuan yang mengenakan kebaya merah marun.
"Apa kau berpikir itu adalah Aku?" tanya Bu Sari tiba-tiba. Didi diam beberapa saat.
"Awalnya, Aku berpikir begitu Nyai. Dari tahi lalat yang dimiliki oleh perempuan dalam lukisan itu, aku pikir itu memang Nyai..." jawab Didi.
Ibu Sari tersenyum lalu menggeleng.
"Dia bukan Aku, Didi..."
"Aku... Aku tahu Nyai. Sebab, justru perempuan itulah yang sering mendatangi Aku dan... Dia juga lah yang pernah kulihat ada di kediaman Edward," jawab Didi.
Wajah Ibu Sari nampak berubah dingin, ketika Didi menyebut nama pria itu.
Didi mengernyit, menatap lekat wajah Bu Sari."Sebaiknya, Kau berhenti berhubungan dengan pria itu, Didi!" seru Bu Sari. Tubuh Didi kembali bergetar, mendengar hardikannya. Dan tentu saja hal itu semakin menambah kebingungan dalam diri Didi.
"Tapi kenapa, Nyai? Edward selalu bersikap baik padaku. Apakah... Apakah Nyai sesungguhnya memang mengenal Edward?" tanya Didi.
Ibu Sari mengembuskan napas berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Eksekusi
غموض / إثارةSeperti Kepiting, tenang, namun mematikan. Tak mengusik, tak mengganggu, namun Capitnya akan mencengkeram kuat, ketika Ia dalam keadaan tak aman. Seperti kasih sayang, tulus, penuh cinta dan pengorbanan. Namun akan menjadi petaka, ketika Kau memaksa...