Pukul Sepuluh Pagi Di Kantor Hans Barnes.
"Baiklah, Aku segera datang, Edward!"
Klik
Hans meletakkan gagang telepon yang terletak di meja kerjanya. Pria tersebut berdiri, merapikan seluruh berkas dan Laptop, serta merapikan dasi dilehernya.
Hans Barnes melangkah keluar ruangannya, yang diikuti oleh Asisten pribadinya yang sudah menunggu sejak Lima menit yang lalu.Mobil yang dikemudikan Sopir melaju dijalanan, menuju sebuah perkantoran di pusat kota.
Hans dan Asistennya berjalan beriringan, menuju ruang Meeting yang sudah dipersiapkan oleh perusahaan tersebut.Di dalam ruangan, Edward bersama tim nya sudah menunggu. Dan jadwal Meetingpun berjalan mulus, selama hampir Satu jam.
Seperti biasa, Hans Barnes selalu merasa puas bekerja sama dengan pria muda nan tampan tersebut. Selain ke Profesionalannya, Edward juga nampak kharismatik ketika membeberkan isi presentasinya. Pantas saja, jika Perusahaan yang dibangunnya, sudah memiliki anak perusahaan dimana-mana. Edward memang piawai dalam pekerjaannya."Hans, makan siang dimana Kita?" tanya Edward setelah Meeting berakhir.
'Pas!'
Seru Hans dalam hati.
"Oke, ikut Aku! Mira, Kau makan siang sendiri, dan temui Aku Satu jam lagi di lobi. Aku masih ada urusan dengan Edward," jawab Hans, kemudian Ia beralih pada Mira, Asisten pribadinya.
Mira mengangguk, kemudian membiarkan Dua pria tampan itu berlalu.
Hampir sepanjang jalan dikantor Edward, para perempuan berdecak kagum menatap Dua pria yang sedang berjalan itu. Keduanya sama-sama tampan dan memancarkan kharisma, meski keduanya berbeda usia.
Hans Barnes sangat tampan untuk pria seumurnya, dan Edward lebih tampan karena pria itu masih sangat muda untuk jabatan Direktur pada Perusahaan besar.
Pantas saja, jika Audrey mengatakan jika Edward mempunyai banyak kekasih.
Padahal, selama ini Didi tidak pernah melihat sekalipun Edward menggandeng perempuan. Kecuali dirinya, dan Muti tentu saja."Oh ya, kapan orang tua mu kembali dari Kanada, Edward?" tanya Hans. Setelah selesai menghabiskan makan siangnya, di resto yang direkomendasikan oleh Hans tadi.
Edward meletakkan gelas minumnya, kemudian melenguh."Itulah, mereka sepertinya sudah benar-benar lupa jika disini, ada Anak semata wayangnya," jawabnya seraya terkekeh. Hans turut tertawa.
"Selama Aku mengenalmu, belum pernah sekalipun Kau mengenalkanku pada Orang tuamu. Aku harus banyak berguru pada Orang tuamu, bagaimana bisa mereka mencetak pria jenius macam Kau," kelakar Hans.
Tawa Edward pecah, ia merasa tersanjung dengan pujian Hans. Tanpa ia sadari jika Hans Barnes sedang memancing di air keruh. Memancing agar Edward menceritakan setidaknya sedikit tentang Orangtuanya.
"Tapi Kau beruntung, Barnes. Besok lusa, orang tuaku akan datang. Dengar-dengar sih ada kerabat mereka yang meninggal dunia," jawaban Edward adalah serupa titik terang bagi Hans.
"Kerabat meninggal? Hey, bukankah Kau pernah mengatakan jika Kau tak memiliki Satupun kerabat?" tanya Hans.
Edward tersedak, buru-buru ia mengambil sapu tangan dari saku celananya. Wajahnya merah.
"Maksudku, kerabat jauh, ya... Kerabat jauh mungkin, entahlah, hanya itu yang kudengar..." jawabnya.
Hans mengangguk."Kau tidak ikut datang melayat?"
Edward menggeleng.
"Aku tidak tahu persis dimana alamatnya. Dan Kau kan tahu sendiri, Aku begitu sibuk dengan urusan pekerjaan. Hampir tidak ada waktu luang," lanjutnya.
"Ya tentu saja... Bahkan Kau lupa mencari jodohmu! Hahaha..." Hans mencoba mencairkan suasana. Ia tidak ingin terlihat begitu mencurigakan dimata Edward. Pria itu jenius, segala hal bisa saja diwaspadai oleh Edward.
Edward tertawa mendengar ucapan Barnes.
"Sudah kutemukan. Hanya tinggal menunggu waktu! Dan desiu tinggal tembak!" jawab Edward sembari seolah-olah sedang menarik pelatuk dengan gerakan tangannya, dan tawanya kembali pecah.
"Siapa? Aku tak sabar ingin tahu siapa perempuan beruntung itu," seru Hans. Edward terkekeh.
"Nanti jika sudah saatnya, Kau hanya perlu duduk, dan menunggu kabar itu datang, Barnes hehehe ..." jawab Edward sembari tersenyum misterius.
*
"Jadi, Orang tua Edward akan datang besok lusa?" tanya Audrey dengan girang.
Hans mengangguk."Pucuk dicinta, ulam pun tiba... Kau dengar itu, Didi, segala bentuk niat baik akan menemukan jalannya sendiri!" ujar Audrey sambil menatap wajah Didi.
Didi membalas senyumnya, kemudian mengangguk.
"Menurutmu, apa perlu kita ke rumah Ibu Sari dulu, Audrey?" tanya Didi.
Audrey menatap Didi dan Hans bergantian."Aku rasa, itu ide yang bagus, Didi. Bukan begitu, Barnes?" Audrey beralih pada Hans.
Hans menggeleng cepat."Kalian saja, Aku tidak ikut!" jawabnya.
Hans tidak mungkin ikut, setelah mendengar semua yang diceritakan oleh Didi kepadanya kemarin malam. Audrey terkekeh, sementara Didi hanya menatap mereka.
"Tidak ada hantu, Hans... Itu hanya halusinasi belaka." ujar Audrey kemudian.
"Tapi, Aku tidak berhalusinasi, Audrey. Mereka benar-benar ada..." tukas Didi dengan lugu nya.
"Nah!" seru Hans sambil mengangkat telunjuk.
Audrey menginjak kaki Didi, sehingga menimbulkan ringisan dari bibir gadis itu. Didi tidak tahu, sama sekali tak tahu jika pria bertatto itu, memang Phobia terhadap makhluk astral.
"Ikutlaaah... Ini akan sangat seru, Barnes!" bujuk Audrey sekali lagi. Hans Barnes tetap menggeleng.
"Kalian saja, biar Aku menjaga anak-anak..." elaknya, sembari menaiki anak tangga.
Audrey cengengesan melihat kecemasan pada wajah suaminya tersebut. Sementara Didi, gadis itu tetap tidak paham.*
Pukul Tujuh malam, Didi dan Audrey sudah berada di dalam rumah kosong. Terbayang lagi dipelupuk mata Didi, ketika ia menyaksikan tubuh Nyai Sari di atas kursi goyang. Seketika bulu kuduknya meremang. Terlebih, ketika Audrey memintanya untuk diantar menuju ruang eksekusi.
KREK KREK KRREEEK
"Astagfirullah ..." gumam Didi.
Ketika melihat kursi goyang di dalam kamar tersebut bergerak sendiri.
Dan untuk pertamakalinya seumur hidup Audrey, ia melihat dengan jelas apa yang selama ini tak pernah ia percayai.Sedikit cemas menghampiri dada Audrey, makhluk astral itu benar-benar ada! Terlebih, ketika tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari balik lemari kayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Eksekusi
Mystery / ThrillerSeperti Kepiting, tenang, namun mematikan. Tak mengusik, tak mengganggu, namun Capitnya akan mencengkeram kuat, ketika Ia dalam keadaan tak aman. Seperti kasih sayang, tulus, penuh cinta dan pengorbanan. Namun akan menjadi petaka, ketika Kau memaksa...