Ruang Eksekusi

1.9K 181 2
                                    

Ruang Eksekusi

Hari ke Enam, Didi hanya bisa menangis dan melapalkan Doa di dalam hatinya. Ruang Eksekusi dan Sejuta cerita seperti layar bioskop yang terpampang jelas dimata Didi.

Selama Enam hari, Didi disuguhi sebuah dokumentasi yang terjadi selama Puluhan tahun silam, melalu mata ke Tiganya.
Gadis itu kini sedang menangis tersedu, Ia tidak pernah menyangka jika hal ini benar-benar menimpa dirinya.

Mata gadis itu nampak cekung, Didi rindu akan rumah, akan Ayah, Ibu, serta kedua Adiknya.
Didi ingin bertemu dengan Mereka, dan bertanya, apa salah dan dosanya?
Kurang taatkah Didi?
Kurang berbakti kah Didi?
Kurang hormatkah Didi?
Sehingga ia tak percaya, benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi dan dialaminya kini...

*

Jessi terjaga seperti biasa dipagi hari, ia mulai menceritakan segalanya dengan ringan. Seolah dirinya tidak pernah mengalami hal buruk tadi malam, dan itu, membuat Hans dan Audrey sedikit lega.
Sebab, awalnya mereka khawatir jika Jessi akan mengalami trauma panjang.

"Memangnya, siapa Nenek yang sering kau lihat, Jessi?" tanya Audrey dengan nada yang ia buat sesantai mungkin.

Jessi mengkerutkan kening sejenak, seperti mengingat-ingat.

"Nenek itu yaaa Nenek yang sering menjaga Didi. Katanya, dia akan melindungi Didi dari siapapun yang akan melukainya. Begitu..." jawab Jessi.

Hans menatap Audrey cemas.

"Rey, sebaiknya secepatnya kau bereskan kasus ini. Aku... Aku khawatir akan terjadi hal lebih gila dari semalam," gumam Hans.
Audrey mengangguk setuju.

"Baiklah, malam nanti kebetulan adalah malam ke Tujuh menurut penanggalan leluhur Mereka, kau bantu Aku mempersiapkan segalanya, Hans," jawab Audrey.

Hans mengangguk. Ini memang tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau, kenyataan tetaplah kenyataan. Sepahit apapun, seburuk apapun, bukan soal tega dan tidak, bukan juga soal siapa yang benar dan salah, namun keadilan itu tetap harus menjadi milik mereka orang-orang yang benar...

*

Malam tenang, Bulan penuh menyembul dari awan yang berarak. Embusan angin meniup dedaunan, membelai kelopak kamboja di pemakaman.

Burung Gagak mematuk remah-remah sang bulan, bintang setia hanya kepada bulan.
Kabut turun dari puncak-puncak gunung, mengiringi derap-derap kaki yang melangkah menuju perbatasan Kota.

Hening ini serupa Bom waktu. Yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Inikah saatnya?

Geletar hati berbaur bertumpah ruah, kebenaran serupa embun di ujung belati.

Unggun menyala di ruang-ruang hati, lalu padam menyisakan jelaga.
Serupa kotak Pandora, tempatnya rupa-rupa perkara beranak pinak.

Di sana, beberapa pasang kaki melangkah berburu dengan waktu, demi mengejar sebuah bayangan yang sempat padam sejak Puluhan tahun silam. Lalu ia seperti jelaga, tetap menyala, meski menyisakan asap hitam nan tebal.

Bersiaplah, demi keadilan, demi kelangsungan hidup Anak Cucu, demi kesejahteraan yang nyata...

Mata menipu, membutakan...

Dengarkanlah, kebaikan bukan berarti kebenaran.
Namun kebenaran, adalah kebaikan yang senyata-nyata baik dan benar...

*

"Sudah siap?" tanya Audrey.
Mereka semua mengangguk.

"Kita berdoa sebelum masuk ke dalam. Berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing ..." gumam Audrey.

Mereka berlima berdoa dalam hati dengan khusyu. Audrey menggenggam erat jemari kecil Jessica. Mau tidak mau, Jessi memang harus ikut dalam persoalan orang dewasa ini. Sebab Ia adalah juru kunci dalam kasus kali ini.
Dan inilah, saat yang akan menggeletarkan semua orang.
Dimana kebenaran yang sesungguhnya akan terkuak.

*

"Mommy, disana!" seru Jessi, memecah kesunyian, beberapa detik setelah semua hening.

Audrey berbalik, Ia meminta Hans menyiramkan air mawar ke setiap tempat yang ditunjukkan oleh Jessi.
Kali ini Hans memberanikan diri, ia tidak mau terlihat lemah dimata Jessi, bukankah itu akan menurunkan harga dirinya sebagai seorang Ayah?

"Mommy!" Jessi tiba-tiba berteriak sekali lagi.

"Dimana Jessi? Dimana?!" teriak Audrey.

Seisi rumah menjadi gaduh, sebab tidak ada yang dapat melihat keberadaan makhluk itu kecuali Jessi.

"Dikakimu, Daddy!" teriak Jessi.

Audrey terbelalak. Hans hampir saja menjatuhkan seluruh kantung berisi botol-botol kaca.

"Siram, Barnes! sekarang!" teriak Audrey.
Dengan tangan gemetar, Hans membuka tutup botol.

"Lekas, Daddy! Dia hampir mencekik lehermu!" seru Jessi lagi.

Hans menyiram sebotol Air ke belakang tubuhnya, Jessi mengangguk dan tersenyum, ketika melihat manusia seperti Zombie terbakar, menggelepar lalu menghilang.
Sementara Hans Barnes hanya menghela napas panjang. Kadang Ia merasa jika ini adalah sebuah lelucon, dimana ketakutannya, harus berhadapan dengan sesuatu yang sama sekali tidak bisa Ia sentuh dan lihat.

Perjalanan masih sangat panjang, Mereka baru sampai dipintu utama, namun sudah sebanyak Delapan makhluk halus yang ditunjukkan oleh Jessi. Dan secara otomatis, sudah Delapan kali pula Hans meng 'eksekusi' makhluk-makhluk ghaib tersebut.

Mereka kembali berjalan menuju anak tangga. Selekas mungkin Mereka harus berada dilantai Dua, sebab botol air mawar hanya tinggal tersisa Dua.

"Mommy, disana Ada Dua..." gumam Jessi, menunjuk ke arah pintu ruang eksekusi dan kursi goyang yang terlihat oleh selain Jessi, nampak bergerak-gerak cepat sekali.

"Oh Tuhan, bagaimana ini..." gumam Hans. Ia mengusap keringat yang membanjiri keningnya.

"Hans, siram setengahnya saja!" perintah Audrey.

"No, Mommy! Oma bilang harus disiram Satu botol untuk Satu makhluk itu!" tukas Jessi.

Hans tak mau menunggu, ia menyiramkan sebotol mawar pada kursi goyang. Sebab, hanya itu yang membuat Hans tidak tenang. Sedang yang dipintu sana, ia tidak dapat melihat apapun bergerak, sehingga tidak terlalu membuatnya ketakutan.

"Siram Daddy!" teriak Jessi.

Hans menatap Audrey, sementara tangan Satu menunjuk ke botol yang tinggal Satu. Sedangkan ruang eksekusi yang sesungguhnya adalah gudang makhluk halus tersebut, dan kamar itu, baru saja akan mereka buka.

"Daddy, demi Tuhan tidak ada pilihan!" teriak Jessi sekali lagi. Sebab ia melihat makhluk tersebut sedang menatap mereka penuh amarah.

BYURRRR

Habis sudah, botol mawar tersebut sudah disiramkan oleh Hans.
Kini, mereka berlima berdiri mematung.
Lalu, terdengar riuh tawa di dalam ruang eksekusi. Dimana Didi, sedang berada dan tersekap di dalam sana.

Hans kini berdiri di belakang Audrey, ia sudah kehilangan botol yang menjadi senjata baginya.

Audrey melangkah perlahan, perempuan itu berdoa sembari membuka pintu.

"Mommy..." gumam Jessi. Wajah anak itu berubah pucat.

"Aku takut..." lanjutnya.

"Terlalu banyak di dalam sana..." pernyataan Jessi semakin menciutkan mereka.

Prang

Gdebuk

Brakkk

Aaaaarghhh

Berbagai suara terdengar saling bersahutan dari dalam kamar dimana Didi berada.

"Didi!" pekik Audrey.

Didi tergolek di atas sebuah ranjang, ranjang yang Puluhan tahun silam menjadi saksi segala hal keburukan.
Gadis itu menatap Mereka semua,  kemudian meneteskan air mata.

"Ma... Maaf... Kan A... Aku..." gumam gadis malang itu lirih.



Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang