Pertemuan

2.9K 279 6
                                    

Hidup di Kota besar sekali lagi tak semudah seperti hidup di Kampung. Didi, menatap belakang rumah mewah tersebut sekedar mencari sesuatu yang mungkin bisa ia petik, atau ambil untuk sekedar mengganjal perutnya.
Matanya tiba-tiba saja tertuju pada sebuah kebun luas di halaman belakang. Dengan senyum senang, Didi bergegas menuju tempat tersebut.

Lama gadis itu terdiam, menatap sepetak kebun yang kini nampak ditumbuhi semak belukar serta ilalang yang tumbuh tinggi.
Di balik tanaman-tanaman itu, sepertinya terdapat sisa-sisa berkebun seseorang. Entah sejak kapan, namun yang pasti, kebun itu sepertinya sudah lama sekali tak tersentuh.

Didi melihat ada berbagai macam tanaman. Dari apotik hidup hingga singkong dan ubi jalar.
Gadis itu memutuskan untuk mencabut Satu batang singkong, untuk ia makan selama beberapa hari.

Tak ada pilihan lain, Didi harus makan! Jatah makannya di depot tempat ia bekerja hanya Satu kali. Itupun, sering ia bagi menjadi Dua kali makan, siang dan sore.
Padahal Muti, gadis pemilik depot sering mengatakan jika Didi, mengatakan apa saja yang ia butuhkan kepadanya. Namun Didi pantang meminta, karena ia sadar diri, dengan diterimanya sebagai karyawan saja, itu sudah lebih cukup baginya.

*

Malam ini, Didi sedang duduk di dalam kamar, seperti biasa.
Ketika tiba-tiba matanya kembali menangkap sebuah bayangan berkelebat dibalik tirai.
Didi menghirup napas dalam-dalam. Entah kejutan apa lagi yang akan disuguhkan oleh para penunggu rumah itu untuk Disi.

"Tolong... Tolooooong..."

Terdengar rintih dari kamar yang berseberangan dengan kamar Didi.
Didi memejamkan mata, ia mengambil tasbih dan mulai membacakan Dzikir pendek.
Suara berat itu kini bertambah lagi. Dua!
Ada suara yang berbeda yang terdengar oleh Didi malam itu, secara bersamaan.

Didi tak sanggup menahan diri, gadis itu melangkah pelan menuju pintu kamar, lalu membukanya dengan perasaan yang tidak menentu.
Suasana dilantai Dua ini terasa biasa saja. Kecuali Satu kamar yang membuat Didi cukup lama menatapnya.

'Inikah kamar yang tidak boleh dibuka itu?' bisik Didi dalam hatinya.

Ia teringat lagi pesan Bu Sari, sebelum ia memutuskan menerima tawaran untuk merawat rumah tersebut. Bu Sari berkali-kali mengatakan kepadanya, bahwa Didi, tidak boleh masuk ke dalam kamar yang berada di ujung ruangan. Yang letaknya sedikit menjorok ke dalam itu.
Sementara itu, malam ini jelas sekali Didi mendengar rintihan itu dari dalam kamar tersebut.

"Ya Allah, apa yang harus kulakukan..." gumamnya.

Setelah beberapa saat, akhirnya Didi kembali ke dalam kamar, kemudian menguncinya dari dalam. Didi harus patuh pada pesan Bu Sari, atau ia akan diminta pulang jika ketahuan melanggar apa yang diamanatkan kepadanya.

*

Hari Kedua Bekerja

Didi sudah datang ke depot es krim, setengah jam sebelum depot tersebut buka.
Beberapa lama kemudian, Muti datang dengan motor maticnya, dan ia menyeringai melihat Didi sudah duduk manis dibangku.

"Besok lagi, kamu menginap saja sekalian disini, Didi!" seru Muti sambil terkekeh dan membuka helm. Didi menyeringai, mendengar lelucon Muti.

Didi mulai terbiasa dengan melayani pembeli, terutama pada jam-jam istirahat kantor dan sebuah Sekolah SMA yang tak jauh dari keberadaan depot.

"Orange float Satu!" seru seorang pelanggan.

Didi menoleh, dan ia tertegun melihat pria yang berdiri dibalik etalase.

"Pak Edward?!" seru Didi. Pria tersebut mengangkat wajahnya dari ponsel yang ia genggam, ekspresinya terlihat tak kalah terkejut.

"Kamu?!" serunya. Didi tersenyum kemudian mengangguk.

Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang