Kampung Halaman

2.1K 213 2
                                    

Didi menghirup teh hangat yang baru saja dibuatkan oleh Edward. Tubuhnya masih terasa sangat ngilu, setelah apa yang menimpanya sejak beberapa jam yang lalu.

"Aku hanya ingin melihat isi kamar yang di atas itu, tiba-tiba saja sesuatu seperti mendorongku ke ruangan yang lainnya. Seseorang melemparkan tubuhku berkali-kali, beberapa kali juga makhluk itu melayangkan pukulan padaku. Setelah itu, aku diberinya sebotol minuman yang rasanya aneh sekali. Aku memberontak, namun mulutku dibukanya lebar-lebar...

"Seorang gadis kecil berusaha menolongku, namun gadis itu... Gadis kecil itu juga mendapatkan pukulan yang serupa, Pak Edward..." Didi menghentikan ucapannya. Ia menatap dalam-dalam wajah pria itu.

"Lanjutkan ceritamu, Didi... Ada apa? Apa lagi yang Kamu alami tadi?" tanya Edward pelan.
Didi menghela napas panjang, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Pak Edward, apa Bapak benar-benar tidak mengetahui, asal usul keluarga Bapak?" tanya Didi.

Edward mendesah, ia menyandarkan tubuhnya di sofa, kedua tangannya menopang kepala, ia menatap jauh ke labgit-langit.

"Sejak kecil, kedua orangtuaku tidak pernah memberitahuku segala hal tentang silsilah keluarga kami. Mama, hanya sering mengatakan, jika seluruh keluarga besar kami sudah meninggal...

"Aku juga tidak tahu bagaimana rupa Nenek dan Kakekku, serta Kakek dari Papa ku. Mama hanya memberiku sebuah foto, yang mengatakan jika perempuan itu adalah Nenekku. Yang kini... Lukisannya ada di rumah ini," terang Edward sambil mengusap wajah berkali-kali.

"Bapak benar-benar tidak mengenali Ibu Sari?" lanjut Didi.

Edward menatap mata Didi cukup lama. Sudah Dua kali Didi menyebut nama seorang perempuan, yang sama sekali tidak pernah Edward kenal.

"Siapa Bu Sari? Kenapa berkali-kali kamu menyebut namanya, Didi?" Edward balik bertanya.

Didi mendesah, Edward sepertinya benar-benar tidak tahu, siapa Bu Sari.

"Didi, aku hampir melupakan sesuatu! Tunggu sebentar, Aku akan mengambilnya," seru Edward, ia teringat akan niat awalnya menemui Didi. Ia kemudian berdiri, dan berlari keluar rumah, menuju mobil.

Beberapa saat kemudian Edward kembali, dengan sebuah album foto dalam genggamannya.
Ia lalu kembali duduk disamping Didi.

"Ini, coba kau teliti Satu persatu. Apakah ada, perempuan yang kau maksud dengan Ibu Sari?" ujar Edward kemudian menyerahkan album foto tersebut kepada Didi.
Didi menatap wajah Edward, sebelum gadis tersebut membuka lembaran album tersebut.

"Tidaaak!" pekik Didi, gadis itu melemparkan album foto ke lantai, kedua kakinya melompat ke atas sofa.

"Kenapa, Didi?Ya ampun Tuhan!" seru Edward. Pria itu mulai gelisah, ia mengacak rambutnya sendiri seraya mengerang.

Didi menggeleng-gelengkan kepala. Ia bungkam namun tangannya menunjuk pada album foto tersebut.
Edward tak melepaskan tatapannya dari wajah Didi, ia mengambil album foto tersebut dan buru-buru membukanya.

Tangan Edward bergetar, matanya terbelalak. Isi album foto itu benar-benar seakan menipu matanya. Edward juga melihat, jika disetiap wajah-wajah di dalam foto tersebut, terdapat sebuah tanda silang pada masing-masing wajah, terkecuali Satu!
Perempuan sekitar Sepuluh tahunan yang berfoto sendirian, yang sedang duduk menopang dagu.

"Didi, kita harus menemui Bu Sari. Ini benar-benar ada yang tidak beres, dan harus diselesaikan," gumam Edward. Ia masih termangu menatap foto-foto itu.

Benar...

Tadi tidak seperti itu!
Edward melihat jelas wajah-wajah mereka yang berada dalam foto tersebut dalam keadaan baik. Ada yang tersenyum, melamun, serius, dan berbagai ekspresi lainnya.
Tapi kini, wajah mereka tak lagi nampak. Yang terlihat hanya garis silang dengan warna merah pada setiap wajah.

Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang