Ibu Sari

2K 209 2
                                    

Mobil yang dikemudikan Edward memasuki sebuah halaman luas, dengan bangunan rumah besar namun sederhana bahkan terbilang antik dan artistik.
Di sekeliling rumah tersebut ditanami pepohonan dan bunga-bungaan. Dari kejauhan, rumah tersebut nampak begitu menenangkan, bagi siapapun yang menghuninya.

Didi membuka pintu mobil perlahan. Dengan ragu yang hingga detik itu masih menghantui pikirannya, Ia mengikuti langkah kaki Edward.

Setibanya di depan pintu rumah Bu Sari, Didi memalingkan wajah pada Edward. Edward menganggukkan kepala, sebagai isyarat.
Didi menghela napas panjang, kemudian melangkah lebih dekat ke arah pintu.

"Assalamualaikum..." salam Didi sembari mengetuk pintu.

Jam baru menunjukkan pukul Tujuh malam, namun tidak seperti biasanya, kediaman Ibu Sari nampak sangat lengang.

Ibu Sari dikenal sebagai seorang janda yang tidak memiliki Satu orangpun anak.
Namun Ibu Sari dikenal sebagai Perempuan yang baik hati, seorang dermawan yang seringkali memberi sumbangan Satu kali dalam sebulan, kepada warga di Desa tersebut.

Tak ada yang tahu persis sejak kapan perempuan setengah baya tersebut berada di Desa itu. Yang jelas, kedatangan Ibu Sari cukup memberi andil pada kelangsungan hidup warga. Bahkan, sosok Ibu Sari dikenal hingga ke Desa lain, karena kebaikannya. Sebab selain sudah menjadi rahasia umum jika Ibu Sari kerap membawa warga untuk bekerja sebagai penjaga rumah di Kota, di Desa pun Ibu Sari memiliki beberapa tambak, yang secara keseluruhan dikerjakan oleh warga setempat.

Meski begitu, Ibu Sari tidak pernah menceritakan kisah yang sebenarnya. Tentang dirinya, keluarganya, bahkan rumah siapa sebenarnya yang di Kota itu. Warga Desa hanya tahu, jika Ibu Sari adalah seorang janda kaya raya. Desas desus status Bu Sari memang sempat merebak di kampung itu. Jika perempuan itu sebenarnya belum pernah menikah seumur hidupnya.
Entahlah ....
Selain itu, karena Bu Sari juga adalah pemilik beberapa tambak udang yang kesemuanya dikelola oleh warga sekitar, sehingga menambah keseganan warga terhadap beliau, untuk menelusuri kebenaran tentangnya.

*

"Mau cari Nyai Sari?" suara seseorang mengagetkan Didi, serta mengalihkan tatapan Didi dengan cepat.

Gadis itu mengangguk kemudian berjalan mendekati pria yang tak ia kenal tersebut.
Warga Desa biasa menyebut Bu Sari dengan panggilan Nyai. Sebuah panggilan kehormatan bagi seorang perempuan yang cukup disegani.

"iya..." jawab Didi.

"Nyai masih ditambak. Mungkin sekitar Setengah jaman lagi beliau datang. Duduk dulu saja," ujar Pria dengan sarung melingkar di bahunya. Kemudian dihisapnya cerutu yang terselil diantara Dua jarinya.
Didi mengangguk.
Pria tersebut mengangguk lalu melangkah pergi ke samping rumah Ibu Sari.

Edward dan Didi duduk resah dibangku teras. Sesekali asap rokok terlihat mengepul dari bibir Edward. Hingga beberapa menit kemudian, muncullah sebuah andong dari ujung jalan, yang kemudian berhenti di depan pagar besi rumah Ibu Sari.

Seorang perempuan turun, kemudian melangkah memasuki pekarangan rumah.
Ia diam sejenak, menatap mobil putih yang terparkir di halaman rumahnya.
Matanya memicing, dari balik kaca matanya kepada Edward dan Didi. Itu Bu Sari, perempuan itu mempercepat langkah.

"Assalamualaikum... Lho, ada tamu rupanya. Lah, Nak Didi?" Bu Sari terpana, ketika tatapannya beralih pada wajah Didi.

Didi mengangguk, kemudian menghampiri perempuan tersebut.

"Waalaikumsallam, iya Nyai..." jawab Didi sembari mencium punggung tangan Ibu Sari.

Sementara itu, Edward membungkukkan tubuhnya sembari tersenyum. Bu Sari membalas senyumnya.

"Sudah lama? Ayo ayo, mari masuk! Tadi Saya sedang ditambak, terpaksa pulang malam, karena besok akan ada panen udang," ujar Bu Sari seraya memutar anak kunci.

CKLEK

Pintu rumah terbuka lebar, dan Bu Sari meminta mereka untuk masuk. Keduanya mengangguk, kemudian mengikuti langkah Bu Sari, dan mereka berdua duduk berdampingan disofa berwarna putih tulang itu.

"Sebentar, Saya buatkan dulu wedang jahe. Oleh-oleh dari Solo, rasanya segar sekali, apalagi setelah perjalanan jauh seperti kalian," seru Bu Sari dari ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruangan lainnya.
Didi baru saja hendak menolak, namun Ibu Sari keburu menghilang dibalik tembok.

"Kau yakin tidak mengenali wajah Bu Sari, Pak Edward?" bisik Didi sepeninggal Bu Sari.
Edward menggeleng.

"Bisakah jangan panggil aku Bapak? Kita hanya berbeda usia beberapa Tahun saja, Didi..." kerling Edward sama-sama berbisik.

Wajah Didi memerah, ah entahlah, gadis itu kadang-kadang memang sering grogi hampir disetiap kesempatan, terutama jika berbicara dengan Edward.

Kadang-kadang tapi sering?
Lahhh...

*

Beberapa menit kemudian, Ibu Sari kembali, dengan membawa sebuah nampan lonjong ditangannya.
Tiga cangkir wedang jahe nampak mengepul, wanginya menyeruak diseisi ruangan. Belum lagi ditambah dengan beberapa toples cemilan, yang kemudian ia taruh di atas meja.
Didi membantu perempuan itu menurunkan toples-toples. Keduanya tersenyum, kemudian Bu Sari duduk di sofa yang lainnya, berhadapan dengan Didi dan Edward.

*

"Jadi, ada apa sebenarnya? Nak Didi, Ibu harap kau pulang bukan untuk mengurungkan niatmu untuk merawat rumah itu..." tanya Bu Sari, setelah mereka berbasa-basi, sambil menatap Didi penuh harap.
Didi tersenyum kemudian menggeleng.

"Tidak Nyai, sama sekali Saya tidak bermaksud untuk kembali ke Desa secepat ini. Hanya saja... Oh ya, kenalkan Nyai, dia ini Pak... Eh maksud Saya, Dia ini Edward. Dialah sesungguhnya yang memiliki keperluan pada Nyai," terang Didi.

Ibu Sari menurunkan sedikit kaca matanya, kemudian menatap wajah pria dengan iris mata kecoklatan tersebut. Edward mengangguk sambil tersenyum.

"Nak Edward ada keperluan kepada Saya? Keperluan apa? Apakah Saya mengenali Nak Edward?" tanya Bu Sari sambil meneliti wajah Edward.

"Ehmm... Itu... Saya... Saya tidak tahu harus mulai dari mana, hanya saja... hanya saja Saya ingin mengetahui, apakah... eum... Apakah Ibu Sari tahu soal Nenek Saya?" tanya Edward. Suaranya terdengar sangat gugup sekali.

Ibu Sari lalu mengernyit.

"Nenek Nak Edward? Maksudnya? Apakah kami memang pernah saling mengenal?" tanya Bu Sari.

Edward duduk gelisah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Tepatnya, bagaimana Ia harus memulai menjelaskannya pada Ibu Sari.

"Eum... Begini, maaf jika Saya ikut bicara, Nyai... Tapi, anu... Edward tidak sengaja melihat lukisan yang ada di rumah itu, Nyai. Dia ini berpikir jika gambar dilukisan tersebut adalah..."

"Cukup!" hardik Bu Sari. Didi dan Edward nampak terkejut dengan sikap Bu Sari.
Perempuan itu berdiri dan menatap keduanya dengan tatapan tajam. Hilang sudah wajah sumringahnya.

"Didi, jangan katakan padaku, jika Kau tidak menuruti pesanku?" tanya Ibu Sari.

Kedua matanya menatap sangat lekat pada wajah Didi, dan hal itu membuat Didi menjadi salah tingkah, wajahnya memerah.
Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Ayu Didi, jawab!" ulang Bu Sari.
Didi menggeleng cepat.

"Ti tidak Nyai... Aku, Aku tidak... Aku... Aku mengingat semua pesan yang Nyai katakan padaku..." jawab Didi terbata.

Didi berdusta!

Iya, gadis itu membohongi Bu Sari. Hal itu disebabkan karena Didi sangat takut dengan wajah Bu Sari malam ini. Ini adalah pertama kalinya ia melihat wajah Bu Sari begitu menyeramkan.

Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang