Manusia Bertopeng

1.8K 181 0
                                    

Sementara malam merangkak kian larut, Audrey dan Hans masih sedang mengobrol banyak hal dengan Edward dan Kedua Orangtuanya. Obrolan santai itu sesekali diselingi kelakar. Membuat malam terasa kian hangat, meski di luar jelas sekali dingin terasa.

Sementara itu di kediaman Audrey ...

"Jessi, sudah malam. Sebaiknya kalian tidur!" seru Didi dari arah dapur. Ia baru saja selesai mencuci piring.

"Kau mau kan, menemaniku, Didi?!" balas Jessi dengan teriakan.
Didi melangkah pelan, kemudian mengangguk.

"Baiklah... Ayo. Chua... Ayo tidur!" ajak Didi. Chua hanya mengeluarkan suara 'hhhmmm' saja, kemudian menguntit di belakang kedua perempuan itu.

PRAANGGG

"Aaarrrghh..." mereka bertiga menjerit bersamaan.

Tiba-tiba saja terdengar suara kaca jendela pecah, dan seseorang dengan topeng menutupi wajahnya melompat masuk.

"Ma... Maliiiing!" teriak Chua.

Orang bertopeng tersebut menghampiri Chua, lalu membekap mulutnya dan menempelkan pisau dileher anak itu.
Jessi menangis melihatnya, sementara Didi menatap lekat mata pria bertopeng tersebut.

"Jangan berteriak, atau kalian kuhabisi!" hardiknya. Chua menghentikan teriakannya, tubuhnya bergetar hebat.

"Ikut Aku!" pria tersebut mendorong tubuh Joshua, lalu menyeret lengan Didi tanpa peduli ketakutan pada wajah-wajah kecil itu.

"Didiiii!" pekik Jessi dan Joshua bersamaan. Joshua ikut menangis, ia melupakan gengsinya kali ini di depan orang lain.

"Nenek, tolong jaga Didi dari penjahat itu..." bisik Jessi dengan bibir bergetar.

"Nenek siapa, jessi?!" teriak Joshua, sambil menatap tajam wajah Jessi.

Jessi bungkam, ia menatap kepergian Didi yang diseret pria yang tidak mereka kenali itu.

"Jessi! Nenek siapa yang kau sebut tadi?!" teriak Chua sekali lagi. Jessi menatap wajah pria itu, kemudian menghapus air matanya dengan kasar.

"Kau tidak pernah percaya dengan ucapan Aku kan, Chua?! Untuk apa Kau bertanya lagi padaku! Dasar pria menyebalkan!" balas Jessi, ia kembali menangis memeluk lutut, dan berharap semoga Mommy dan Daddy nya segera pulang.

*

Tiga puluh menit kemudian, setelah Didi berhasil dibawa oleh manusia bertopeng.

"Astaga! Ya Tuhan, Barnes, apa yang terjadi?! Didi! Jessi! Joshuaa!" teriak Audrey sambil menatap cemas pada kaca yang tercerai berai.
Hans Barnes yang baru turun dari mobil sama-sama nampak resah.

"Mommy!" teriakan Jessi setidaknya membuat Audrey sedikit bernapas lega.
Perempuan itu buru-buru menghampiri Jessi dan memeluknya.
Gadis kecil itu menangis meraung-raung. Dan Audrey berpikir belum saatnya mencari tahu pada gadisnya, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sebaiknya, ia biarkan Jessi menghabiskan ketakutannya lewat air mata.

"Daad... Didi... Didi dibawa kabur oleh manusia ber ber bertopeng..." ungkap Jessi disela tangisnya.

Joshua masih memeluk lengan Hans Barnes. Kemudian kedua orang tua itu menggendong masing-masing anaknya, dan membawa keduanya ke sofa.

*

Jessi dan Joshua sudah tenang. Audrey sudah memberi mereka minum. Dan kini, Kedua orangtua itu diam menatap mereka berdua, menanti dengan cemas penjelasan keluar dari bibir mereka dengan sendirinya.

"Kami sedang berjalan, mau tidur ... Tiba-tiba saja kaca pecah. Dan laki-laki yang memakai topeng itu muncul dari jendela. Dia menyeret Didi pergi, Mom..." cerita Joshua yang dianggukkan oleh Jessi.

Audrey dan Hans saling berpandangan sejenak. Hans menganggukkan kepala, dan Audrey membalas dengan anggukan juga. Seperti sebuah kode yang sudah dimengerti oleh Satu sama lain.

"Sayang, sebaiknya kalian tidur. Ayo Mommy temani," ujar Audrey.

Jessi dan Joshua mengangguk. Dan mereka bertiga berjalan menuju kamar. Sementara Hans, pria itu kini sibuk membersihkan pecahan-pecahan kaca.

*

"Hans, sepertinya Aku sudah menemukan jawabannya. Tapi ... Belum yakin Seratus persen. Ayolah, bantu Aku menemui Muti. Kau datangi Dia, dan cari tahu seperti apa yang Aku katakan padamu tadi malam," pinta Audrey, seraya menuang susu pada gelas Chua dan Jessi.

Hans mengangguk, semalas apapun Hans, ia tidak pernah berani menolak keinginan Audrey.
Bukan!
Bukan berarti Barnes sosok suami takut Istri, melainkan, rasa cinta Hans kepada Audrey lah yang membuat ia rela melakukan apapun. Kecuali, bertemu hantu...

*

"Sayang, come on. Jangan buat Mommy kesal hari ini. Mommy harus pergi lebih pagi, dan ayolah ... Bisa kah kita berkompromi?" ujar Audrey pada kedua buah hatinya.

"Yess Mommy, i'm ready! Dan Kau harus berjanji padaku, selamatkan Didi, please..." pinta Jessi dengan wajah memelas.

"Maka dari itu, Kau harus menurut apa kata... Chua! Apa yang Kau lakukan? Taruh gawainya dan lekaslah!" teriak Audrey.

Perempuan itu menyeret lengan Joshua dengan cepat, sambil bibirnya terus menceramahi putranya tersebut yang selalu membuat masalah.

*

Depot

"Greentea Float Satu!" seru Hans. Jarinya masih menggenggam Pulpen dan sedang memutar-mutar, sesekali menggigit, sesekali diletakkan begitu saja.

"Berapa?!" seru Pelayan.
Hans menatap gadis tersebut melalui kaca mata hitamnya.

"Satu!" jawab Hans.

'Hmm .. Jadi ini yang namanya Muti ...' bathin Hans.

"Hey, kupikir Kau tak jadi datang, Edward!" seru Hans, ketika melihat Edward datang menepuk bahunya.
Edward senyum, lalu berteriak.

"Muti! Biasaaa. ." serunya.
Hans mengernyit.

"Kalian saling kenal?" tanyanya.
Edward terkekeh dan mengangguk.

"Tentu saja! Dia..."

"Pesanan dataaang..." Muti datang dan memotong perkataan Edward.

"Hey, kenapa tanganmu?!" seru Hans, ketika melihat tangan Muti dibalut perban.
Muti menarik tangannya ke belakang.

"Tak apa. Permisi..." jawabnya cepat. Dan gadis itu meninggalkan mereka dengan langkah cepat.

' benar-benar mencurigakan ...'  pikir Hans.
Berkali-kali Hans mencuri pandang pada Muti yang sibuk melayani pembeli.

"Hey, jangan bilang kau mengagumi, Muti, Barnes! Aku bisa melaporkanmu kepada Audrey," seru Edward, ketika matanya menangkap mata Hans tengah menatap Muti.
Hans terbahak mendengar ucapan Edward.

"Aku hanya mengagumi caranya melayani pembeli, cukup cekatan," jawabnya. Edward mengangguk.

"Yaa begitulah... Terkadang kita memang harus lebih cekatan dalam berbagai hal, Barnes. Sebelum para pesaing kita mendahului. Benar bukan?" ujar Edward sembari terkekeh.
Hans Barnes mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.


Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang