Tragedi Kematian

1.9K 205 2
                                    

"Pak Dayat, Aku pikir, Satu diantara mereka memang ada hubungannya dengan Kalian. Karena, berkali-kali Aku pernah melihat dikediaman Edward, jika perempuan dalam lukisan itu berada disana. Tapi ..."

"Tapi apa, Kemuning?" tanya Pak Dayat. Kali ini, pria itu yang nampak gelisah dan penasaran.

"Edward menyebut jika perempuan dalam lukisan itu adalah Neneknya! Menurut apa yang dikatakan Edward, jika Dia berkata bahwa perempuan tersebut adalah Neneknya, bukankah besar kemungkinan, jika Edward adalah Cucu Ibu Ariani? Bukan Cucu Nyai Sari?" lanjut Didi.

Pak Dayat mengangguk.

"Apakah Kau pernah bertemu orangtua Edward? Atau... Misal melihat fotonya?"

Didi menggeleng pelan.

"Aku tidak pernah melihatnya, Pak. Tapi... Ada sesuatu yang ganjil. Sebab arwah perempuan itu, sepertinya sangat membenci Muti. Apa mungkin, justru Muti lah Cucu Nyai Sari?" lanjut Didi.

Pak Dayat menghela napas berat lagi hingga kesekian kalinya.

"Kemuning, ayok kita pergi!" seru Pak Dayat sembari mengenakan peci yang ia taruh di meja tadi. Lalu berdiri dan melepaskan sarung yang ia kenakan.

"Kemana?" tanya Didi. Pak Dayat bungkam, ia hanya berjalan dan Didi mengikutinya.

Kedua orang itu melangkah cepat. Didi masih belum paham kemana Pak Dayat akan membawanya, namun pria itu tetap bungkam, dan Didi sama sekali tidak berani lagi bertanya apapun. Hingga, langkah Pak Dayat terhenti dirumah Ibu Sari.

*

"Sari!" seru Pak Dayat.

Didi hanya berdiri di belakang pria tersebut.
Hening.
Tak ada jawaban atau tanda-tanda Ibu Sari membuka pintu.

BUK BUK BUKK

"Sari! Buka pintunya..."

Cklek

Pintu rumah Bu Sari rupanya tidak terkunci.
Pak Dayat menyeruak masuk, yang kemudian diikuti oleh Didi dengan berbagai pertanyaan meliputi kepalanya.

"Sari..." gumam Pak Dayat. Begitu keduanya tiba di dalam rumah.

Didi merasakan ada yang tidak beres. Ia dan Pak Dayat saling pandang, kemudian sama-sama mengangguk.
Didi meletakkan tas nya begitu saja, ia dan Pak Dayat berlari ke lantai Dua.

Cklek

"Sari!" suara Pak Dayat melengking. Pria tersebut jatuh bersimpuh dengan air mata mengalir deras di pipi keriputnya.

Sama hal nya dengan Didi, gadis itu berdiri dengan tubuh bergetar hebat. Gadis itu membekap mulutnya dengan mata terbelalak.

Nyai Sari, perempuan itu nampaknya sudah tidak bernyawa. Tubuhnya terikat di atas kursi goyang, dengan lidah menjulur dan kedua mata membeliak.
Sementara itu, sebuah kawat tergeletak di bawah kaki perempuan naas tersebut. Nyai Sari tewas! Ini jelas jika Ia telah dibunuh oleh seseorang...

Didi tak bergeming, Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa Ibu Sari dibunuh?

Didi hanya menatap Kedua orangtua itu dengan airmata yang terus meluncur dipipinya.

*

Suasana pemakaman sunyi senyap. Daun-daun Kemboja berjatuhan diterpa angin dingin pagi itu.
Tak ada para pelayat, kecuali tukang gali kubur yang tengah membersihkan cangkul di atas nisan sebuah kuburan.
Pak Dayat telah memutuskan untuk tidak melaporkan peristiwa itu kepada pihak berwajib, meski Didi bersikukuh menyarankan untuk melaporkan tindak pembunuhan itu.
Namun sekali lagi Didi bukan siapa-siapa, Ia tidak mempunyai hak untuk apapun terhadap keputusan keduanya. Namun, bukankah hal itu menjadi sangat janggal?
Andai Pak Dayat benar mencintai Bu Sari, semestinya Ia sudah sejak tadi melapor kepada pihak berwajib.

Ruang EksekusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang