Didi sudah berada dilantai Dua. Keadaan di lantai Dua tak jauh beda dengan di bawah, sama-sama terlihat rapi dengan barang-barang mewah meski dilantai Dua nampak jauh lebih terkesan santai. Didi mengedarkan pandangannya sekali lagi, mencari keberadaan kamar mandi yang sudah diberitahukan Bu Sari, untuk digunakan oleh Didi.
Didi berjalan menuju ruang keluarga, kemudian menaruh tas nya di atas sofa yang terdapat disana, kemudian ia kembali mencari keberadaan kamar mandi.
Derap langkahnya menggema, seakan setiap langkah kakinya menghasilkan irama, di lantai Dua tersebut.Didi membuka pintu kamar mandi, setelah sebelumnya menyalakan lampu di seluruh dapur.
"Astagfirullah..." pekiknya dengan suara tertahan sembari menutup mulut.
Didi memejamkan mata, kemudian sebisa-bisa melapalkan doa di dalam hatinya.
Memang sial, karena tak banyak orang yang tahu, bahwa jika diam-diam, Didi sebenarnya dapat melihat makhluk lain di luar sebangsanya.Namun Didi tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun, termasuk kepada Bapak dan Ibu. Sebab jika Didi bercerita di kampung tempat ia tinggal bahwa dirinya bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata, maka ceritanya akan membawa dampak besar dan akan menjadi sebuah beban bagi Didi sendiri.
Seperti misal, Mereka bakal menganggap Didi mempunyai titisan dari para leluhur, atau juga bisa berpotensi menjadi seorang dukun, yang bisa mengobati segala macam penyakit, yang notabene warga kampung masih memegang teguh keyakinan terhadap hal-hal berbau mistis, pun pengobatan secara tradisional.Didi tidak mau hal itu menimpa dirinya, seperti yang terjadi pada Eko, sahabat Didi sejak keduanya masih kecil.
Eko seringkali berbicara kepada orang-orang jika dia bisa melihat makhluk ghaib. Dan alhasil, warga mengelu-elukan Eko, memuja Eko, dan menganggap Eko adalah orang yang dapat memberi 'keamanan' di kampunh. Dan kini, pria yang bercita-cita menjadi Polisi itupun pada akhirnya tak pernah terwujud. Karena warga kampung menginginkan Eko tetap berada di kampung, untuk menjaga keamanan kampung dari hal-hal semacam gangguan Jin, Iblis pemangsa ternak, atau Santet dan sebangsanya.*
Seorang Nenek tua membelakangi Didi, rambut putihnya nampak berantakan, kemudian melangkah dengan tertatih menembus tembok, tanpa mengindahkan keberadaan Didi sama sekali.
Didi membiarkan hal itu, tak banyak yang bisa ia perbuat kecuali diam dan berharap serta berdoa, agar Mereka, siapapun itu makhluk halus ysng sama-sama menghuni rumah itu tak mengganggunya.Didi membersihkan badan, kemudian mengambil wudhu dan kembali dengan langkah terburu-buru meninggalkan kamar mandi.
Ia bergegas mengambil tas miliknya, kemudian berjalan cepat menuju kamar yang sudab diperuntukkan baginya.*
Malam telah semakin larut, sementara Didi masih melantunkan ayat-ayat suci, hal itu ia lakukan sesuai dengan pesan Ibu, ketika telinganya mendengar suara tangis samar-samar yang menyayat hati.
Ini adalah malam pertama yang menyambut lelahnya.
Dengan wajah Ibu dan Bapak serta Kedua adiknya dipelupuk mata, Didi bertekad untuk menguatkan diri berada disini. Toh ini malam pertama, wajar jika mereka, para penunggu rumah tersebut merasa terusik oleh keberadaan Didi yang hadir secara tiba-tiba.Seusai mengaji, Didi mengeluarkan isi tasnya, dan memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari. Juga selembar Ijazah SMU nya yang ia akan gunakan sebagai satu-satunya harta berharga untuk ia bertahan hidup di Kota besar itu.
Gaji yang akan ia dapat dari merawat rumah, sudah sepenuhnya ia berikan kepada Ibu dan Bapak. Sedangkan dirinya, nanti besok ia akan mencari pekerjaan. Sebagai apapun, dimanapun, yang penting ia bisa makan.Didi merebahkan tubuhnya yang sudah teramat penat, berkali-kali matanya melihat seorang anak kecil mengintip dari balik lemari. Wajahnya pucat, dari bibirnya mengeluarkan darah. Didi memejamkan kedua mata, kemudian menghela napas panjang dan tetap mencoba untuk berusaha tenang. Ia memang hanya mampu berdoa, sekali lagi berdoa, berdoa dan hingga seterusnya. Hingga ia terlelap meski dalam keadaan yang sama sekali jauh dari kata tenang...
*
Pagi dirumah itu sama saja dengan pagi dimanapun. Matahari menyembul dari ufuk timur, suara cicit burung, dan teriakan tukang sayur adalah hal yang seragam dimanapun. Kecuali Satu hal yang berbeda, di Kota itu, pagi ditambah pula dengan riuh suara klakson kendaraan. Jika di Kampung, yang terdengar riuh adalah suara Sapi yang mengembik, suara angsa, dan ayam yang saling bersahutan.
Didi membuka tirai satu persatu. Pagi ini, ia bersyukur karena paginya masih normal. Maksudnya, masih bangun dan menghirup napas. Dan yang terpenting, ia masih terjaga di atas tempat tidur!
Bukan dikuburan, atau hutan belantara seperti kisah-kisah dalam film horor.
Ia terkekeh sendiri membayangkan kekonyolan itu.Didi mengucap istigfar, kemudian mundur beberapa langkah. Bocah kecil yang berkeliaran di dalam kamarnya memang sudah mulai biasa dilihatnya, tapi tetap saja Didi masih terkejut ketika tiba-tiba dia muncul secara tiba-tiba, meski sama sekali tidak melakukan apa-apa terhadap Didi.
Hanya saja, Didi pun tidak berani menyapa, takkan pernah! Sebab mereka bukan temannya, mereka hanya sama-sama menitipkan hidup dalam rumah yang sama.'Aku takkan mengusik kalian, tapi jangan pula kalian mengusikku,' ujar Didi, entah ditujukan kepada siapa.
*
Setelah mandi, Didi bersiap-siap, mematut diri di depan cermin, kemudian mengembuskan napas panjang. Hari ini ia akan keluar, untuk mencari pekerjaan. Kemanapun, dimanapun, kerja apapun, akan dijalaninya demi memenuhi kebutuhan hidupnya selama di kota ini.
Perutnya tiba-tiba terasa perih, ia baru ingat bahwa sejak kemarin Didi memang belum makan nasi, kecuali gorengan yang ia beli dipinggir jalan sore itu.
Apa daya, uang didompetnya hanya tinggal Dua puluh ribu! Dan uang itu hanya akan ia gunakan sebagai ongkos naik angkutan.
Sudahlah, Didi hanya harus puas dengan memakan beberapa keping Malkis, yang Ibu beli sesaat sebelum Didi berangkat."Untuk bekal dijalan," ujar Ibu ketika itu.
*
Didi mengunci pintu rumah, ia melangkah dengan pasti, dengan tekad kuat bahwa ia pasti akan mendapatkan pekerjaan.
"Lho, ada orang dirumah itu?" ucapan seseorang membuat Didi terkejut, kemudian menoleh cepat, sesaat setelah ia selesai mengunci pagar besi.
Didi tersenyum, kepada seorang perempuan yang berdiri dihadapannya."Kamu tinggal dengan siapa?" tanyanya.
"Sendiri. Saya Didi, baru tiba dari kampung kemarin. Maaf, jika belum sempat melapor," jawabnya.
Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menatap Didi dengan lekat.
"Yakin, sendiri? Rumah itu kan angker..." bisiknya. Didi tersenyum.
"Tidak apa-apa. Insyaallah Saya baik-baik saja," jawab Didi. Perempuan setengah baya itu mengernyit, kemudian tersenyum.
"Permisi, Saya harus pergi..." lanjut Didi. Sungguh, ia tak ingin mendengar banyak hal yang akan semakin membuat niatnya untuk bertahan disini kembali ciut.
Perempuan itu mengangkat bahu, lalu mengangguk, sambil menatap Didi yang melangkah pergi dengan terburu, meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Eksekusi
Mystery / ThrillerSeperti Kepiting, tenang, namun mematikan. Tak mengusik, tak mengganggu, namun Capitnya akan mencengkeram kuat, ketika Ia dalam keadaan tak aman. Seperti kasih sayang, tulus, penuh cinta dan pengorbanan. Namun akan menjadi petaka, ketika Kau memaksa...