"Gimana nih, para kucing-kucing sekalian yang dirahmati Allah?"
Suara Polo memecah keheningan malam yang sunyi menjadi agak menyeramkan, buram, dan menyebalkan.Yoanan yang sedang mengupil di atas pohon langsung menoleh. Membiarkan jemarinya menyangkut di lubang hidungnya. Melongo menatap Polo ingin mendengar kata selanjutnya.
Gue yang sedang menyapu akhirnya ikut tertarik pula untuk masuk ke ranah pembicaraan mereka. Walau harus di akui kalau sebenarnya gue malas untuk nimbrung.
"Baiklah. Sekarang,-
Eh, dimana Libra, Harold sama si Tayo?"
Tanya Polo sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru kebun kopi penuh pohon coklat ini.Mencari sesosok kucing yang amat dicintainya itu.
"Si Harold sedang ke warung beli bawang. Tayo lagi maen kelereng ke negara tetangga. Dan si Libra ada di toilet. Kebelet katanya."
Balas Yoanan sambil lalu. Kembali menatap langit yang menawarinya cahaya hangat, semakin hangat, panas lalu membakar."Beli bawang? Kagak takut tu bocah sama bawang?"
"Lu pikir dia vampir kali, takut sama bawang."
Sambar gue sambil melanjutkan pekerjaan. Melengos begitu saja dari hadapannya untuk mencari karung."Tom,"
Gue menoleh. Merasa terpanggil.
"Lu kagak mau, nyamperin tu pak ustadz?"
Tanya Polo dengan logat khas kemisteriusannya yang menggelora. Membahana memenuhi ruang udara. Membuat sesak dan nyeri sendi, pula."Buat apa coba, gue nyampiren pak ustadz? Gue malah merinding bayanginnya."
Gue bergidik ngeri. Membayangkan pak ustadz tahu siapa yang gue cintai selama ini. Dan tahu semua rahasia gue yang kagak demen air. Kan malu!
Malu bercampur kengenesan menjadi satu. Menjadi sebuah rasa yang sama. Pahit, kayak kopi tanpa air. Bikin gigi item juga dong, kalau kopi tanpa air! Lengket.
Polo menepuk jidatnya yang ciut. Kedua matanya memandang gue dengan tampang jengah yang menyebalkan.
"Maksud gue. Lu bisa nyampein apa yang bisa dia sampein ke manusia."
Polo menggerakkan tangannya ke depan belakang. Berusaha menjelaskan dengan caranya sendiri yang cukup nyentrik. Kayak orang mau pidato.
"Mau ngomong sama kak Arka dan bikin tu manusia pingsan lagi? Ogah banget, dah."
Gue meringis ngilu membayangkan kak Arka dengan kejamnya akan membuang gue dengan seenak jidatnya yang lebar karena menganggap gue siluman.
"Aduh! Bukan itu, kucing! Maksud gue, buat sampe'in ke pemiliknya si Raven."
Gue mengangkat alis.
"Lu bisa sampe'in, kalau lu mau bayarin tenda pernikahannya si Mona sama si Raven. Begitu pak ustadz,-"
Polo-pun terjungkal ke belakang dengan sapu lidi yang sukses menimpuk tubuhnya.
Enak banget mau bantuin si pegacingor nikahan. Kagak bakalan mau gue bantuin biaya apalagi cuciin piring. Gue maunya ngabisin makanannya aja.
"Lu pikir gue punya duit, apa?"
Gue berjalan mendekat. Bukan untuk menolong si Polo, tapi untuk ngambil tu sapu lidi yang baru aja terbang. Buat nyapu lagi, gaes.
Polo mengusap keningnya yang sedikit benjol. Menatap gue dengan pandangan sebal sambil mengerucutkan bibir.
"Ya maksud gue sebenarnya bukan itu sih.
Eh, btw sebenarnya lo masih cinta kagak sih, sama si Mona? Gue lihat, akhir-akhir ini lu deket banget sama si Karlina."
Gue mengerlingkan mata malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary Of 'Kucing Satu Komplek' -kucing juga butuh diary-
HumorApa jadinya, jika semua kucing yang berkeliaran di sekitar kita, memiliki kehidupan yang serupa dengan manusia. Memiliki band musik, pengadilan, ruang meeting, pelakor, penjahat dan semuanya. Dan kucing kalian ikut andil dalam banyak hal di sana. **...