Part 4

3.1K 189 13
                                    

Saat di pagi hari Sabtu, Gio terbangun, mendahului Rara. Sejak perdebatan mereka karena Rara pergi dengan Ethan, mereka saling mendiamkan satu sama lain, kecuali di hadapan keluarga mereka.

Rara pun bangun dan memandang bingung kepada Gio yang sudah selesai mandi. Namun ia tak berkata apa-apa dan berjalan ke kamar mandi.

Langkah Rara terhenti saat Gio menahan tangannya. "Kita ke Bogor hari ini," beritahu Gio.

Rara menoleh kearah Gio dan mengernyitkan dahinya. "Ngapain? Kamu nggak kerja?" tanyanya heran.

Gio menggeleng. "Nggak. Aku lagi pengen pergi kesana. Aku juga ngajak Mama, Papa, Ana, dan Juno."

Rara terlihat semakin bingung. "Hah? Kapan? Kok aku nggak tau, Mas?"

"Aku ngasih tau mereka abis pulang kerja. Sedangkan kamu udah tidur duluan. Aku nggak tega bangunin kamu," sahut Gio.

Rara mengangguk mengerti. "Ya udah. Aku siap-siap dulu."

--------

Mereka telah sampai di Puncak dan hari masih pagi, sehingga masih terasa dingin. Rara menutup matanya dan menikmati udara segar mengelus pelan wajahnya.

Adrian dan Adriana telah dibawa kedua orang tua Gio ke dalam villa. Hanya Rara yang masih bertahan di luar.

Saat Rara mendengar langkah suara seseorang di belakangnya, Rara pun membuka matanya dan mendapati Gio yang sedang berjalan ke arahnya.

Rara melangkah untuk masuk ke dalam villa, namun Gio menahannya dengan menggenggam pergelangan tangannya.

"Temani aku disini, Rara," pinta Gio dengan tatapan memohon.

Rara menatap Gio terkejut. "Tapi...Adrian sama Adriana...."

"Ada Papa dan Mama yang jaga mereka. Juno dan Ana juga. Kamu nggak perlu khawatir. Lagipula, kita jarang berduaan kayak gini semenjak Adrian dan Adriana lahir," sahut Gio.

Pipi Rara memerah mendengar perkataan Gio. "Ngapain juga berduaan," kata Rara jengah.

Gio mengangkat sebelah alisnya. "Emang salah kalo aku mau berduaan sama istri aku sendiri? Lagian, kita jarang pergi liburan kayak gini."

Rara menggeleng. "Tapi, aku nggak enak sama yang lain..."

Gio kembali menatap Rara dengan tatapan memohon. "Tolong, Ra. Hari ini aja, turuti keinginan aku."

Rara menatap Gio lekat, dan akhirnya mengangguk. Gio tersenyum senang dan menarik tangan Rara untuk mengikutinya.

Rara terpekik. "Kita mau kemana, Mas?"

"Ke kebun teh," sahut Gio sambil terus berjalan. Rara berusaha mengikuti Gio, namun ia kesulitan karena langkah Gio yang lebar.

Gio yang menyadari bahwa istrinya kesulitan mengikutinya, akhirnya malah menggendong Rara ala bridal style menuju kebun teh.

Rara kembali terpekik. "Astaga, Mas. Ngapain sih gendong-gendong kayak gini?" serunya malu.

"Aku tau kamu kesusahan buat ngikutin aku, Rara. Apa salahnya sih kalau aku gendong kamu?" sahut Gio santai.

Pipi Rara memerah dan Rara pun menutup mulutnya. Gio menurunkan Rara saat mereka sudah sampai di tujuan.

Mereka berdua berjalan menyusuri kebun teh dan menikmati udara segar khas pagi hari dalam diam.

"Mas..." Rara pun memecah keheningan di antara mereka.

Gio menoleh ke arah Rara. "Ya?"

Rara menghela napas berat. "Kenapa kita nggak pisah dari dulu aja? Kamu mencintai Mira, bahkan sampai sekarang. Tapi kenapa kamu nggak pernah bilang kalo kamu mau pisah?" tanyanya.

"Karena aku nggak menginginkannya, Rara," sahut Gio tak sabar.

"Kamu tau, kamu semakin mempersulit semuanya dengan begini, Mas. Apa sebenarnya yang kamu coba untuk buktikan dengan mempertahankan aku? Apa kamu ingin membuktikan kepada Kak Dika? Lupakan tentang Kak Dika dan lakukan apa yang kamu inginkan! Ada Kak Aldrin yang bisa bantu aku, kalo itu yang kamu khawatirkan!"

"Kenapa kamu berbicara seperti itu?"

Rara mendengus kesal. "Karena kenyataannya memang begitu, Mas!"

Gio mengusap wajahnya dengan lelah."Tolong, Ra. Kita telah beberapa kali membicarakan ini, dan nggak ada yang berakhir baik, Ra. Kita selalu berdebat pada akhirnya. Aku kesini ingin berlibur dan menenangkan pikiran, bukannya bertengkar, Rara."

"Aku ingin menanyakan tentang kamu, Rara. Tentang masa lalu kamu. Setelah Ethan muncul, aku sadar kalo banyak hal tentang kamu yang belum aku ketahui," sambung Gio.

Rara mengedikkan bahunya. "Entahlah. There's not much to tell. Aku pindah ke Palembang saat kelas 5 SD, lalu aku kembali ke Jakarta setelah aku lulus SMP, karena saat itu Ayah merasa kalo sudah saatnya aku kembali bersama Ayah. Aku dulu punya sahabat cewek di Palembang, tapi sebelum aku kembali ke Jakarta, dia meninggal karena penyakit leukimia yang dideritanya sejak lama."

"Saat SMA, apa kamu punya sahabat?" tanya Gio penasaran.

Rara menggeleng. "Nggak. Nggak ada yang benar-benar dekat dengan aku. Bahkan dulu aku menyukai Kak Revan, tapi aku cuma bisa ngeliat dia dari jauh. Dulu banyak cewek yang iri sama aku karena aku dekat dan selalu kemana-mana dengan Reza, sepupu jauh aku. Mamanya Reza adalah sepupunya Ayah. Tapi banyak yang nggak tau dan berspekulasi macam-macam tentang kami. Reza kadang merasa nggak enak dengan aku, tapi aku telah terbiasa mendengar penghakiman orang-orang terhadap aku. Dan para cowok...mereka nggak terlalu mempedulikan orang pendiam kayak aku."

"Dan kamu membiarkan mereka? Kamu nggak berusaha menjelaskan?"

"Untuk apa? Aku nggak peduli dengan penilaian orang terhadap aku. Hanya aku yang paling mengenal diriku sendiri. Bukan orang lain. Buat apa aku peduli tentang pendapat mereka? Hanya aku yang paling layak untuk menghakimi diriku sendiri," sahut Rara santai.

Gio mengangguk mengerti. "Well, I have to say that it is very true. Tapi apa kamu pernah merasa sedih karena mereka?"

"Ah, sering. Tapi aku...I'll never let them bring me down. Aku selalu mengingatkan diriku kalo penilaian mereka tentang aku nggak akan pernah mempengaruhi hidupku."

"What's the deal with your cousin? Kenapa dia menjadi incaran para cewek di sekolah kamu dulu?" tanya Gio heran.

Rara tertawa pelan. "Tipikal cowok sempurna. Ganteng, bertubuh atletis, anak basket, populer, banyak teman, lucu, dan ramah. Dan dia juga cukup pintar," jawabnya.

"Ah, tentu saja," kata Gio sambil mengangguk.

"Bagaimana dengan kamu, Mas?" tanya Rara balik.

Gio tersenyum tipis. "Aku punya seorang sahabat. Kami selalu satu sekolah sejak TK hingga SMA. Tapi setelah lulus SMA, dia tinggal di Los Angeles dan sekarang ia menikahi salah satu artis ternama di Hollywood. Kami jarang bertemu, tapi ada media sosial yang menjaga kami untuk tetap berhubungan."

"Siapa namanya?" tanya Rara penasaran.

Gio tertawa pelan. "Arya Pangestu."

"Sebentar.." Rara mengerutkan keningnya, dan tak lama kemudian sebuah pemikiran terlintas di kepalanya dan matanya pun membulat. "Dia itu suaminya Kate Reddine, kan? Kate Reddine yang itu?"

Gio mengangguk. "That's the one. Kamu benar. Apa kamu penggemar Kate?"

"Aku suka Kate. Aku juga suka Freya Alexander. Freya dan Kate pernah bermain di film yang sama," sahut Rara.

Gio mengedipkan sebelah matanya. "Kalo kamu beruntung, kamu mungkin bisa bertemu dengan Kate."

Mata Rara berbinar. "Benarkah?"

Gio mengangguk. "Tentu saja."

Rara langsung memeluk Gio, sehingga membuat Gio terkejut. Tubuh Gio menegang sesaat, namun akhirnya ia membalas pelukan Rara sambil mengusap pelan kepala Rara.

Entah kenapa, hati Gio terasa menghangat saat Rara memeluknya.

*****

Picture: Algiovanni Nevano Pratama

Never Forget You [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang