Saat sedang berjalan keluar dari gedung mall menuju tempat parkir mobil, Gio menarik tangan Rara yang sedang berjalan di depannya, menautkan jari-jari mereka satu sama lain. Mereka baru saja selesai menonton film di bioskop, setelah sebelumnya pergi makan pancake di kafe yang diinginkan Rara. Rara masih mengenakan dress, dan Gio masih mengenakan setelannya, namun tanpa jasnya.Rara mendongak untuk menatap suaminya, dan menyunggingkan senyum tulus. "Makasih banyak ya, Mas."
Gio ikut tersenyum dan mengacak pelan rambut Rara. "Hei, ngapain bilang makasih."
"Ah, gimana tadi film nya, Mas? Maaf aku tadi milih film nya langsung, tanpa nanyain kamu mau nonton apa," tanya Rara yang merasa sedikit bersalah. Dia memang ingin sekali menonton film itu karena telah menunggunya dari lama, sampai dirinya lupa kalau dia juga harus mempertimbangkan pendapat suaminya.
"Seru, kok. Santai dong, sayang. Kan tadi aku yang nanyain kamu mau kemana aja. Jadi karena kamu pengen nonton, kita nontonnya film pilihan kamu," sahut Gio dengan lembut.
Rara mengerjapkan matanya. Meskipun Gio beberapa kali telah memanggilnya dengan panggilan sayang dan semacamnya, tetap saja panggilan itu membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Sikap manis Gio selalu membuat Rara bingung. Apa Gio memberikan perlakuan manis kepadanya hanya karena dia adalah istrinya atau karena Gio memang memiliki perasaan kepadanya?
Sebelum memasuki mobil, Gio memutar tubuhnya untuk menghadap Rara. "Abis ini kamu mau kemana?" tanyanya.
Rara menggeleng tak tahu. Ia juga bingung sebenarnya. Perutnya telah kenyang dan mereka telah menonton film yang dia inginkan. Memangnya apa lagi yang ingin dia lakukan?
Gio menyeringai dan berbisik di telinga Rara. "Gimana kalo kita nginap di hotel? Spending time together, only both of us. Toh anak-anak ada yang jaga di rumah, dan Mama sama Papa nggak akan keberatan kalo kita ninggalin cucu-cucu mereka di rumah. Cuma sehari aja kok."
Rara tersipu malu mendengar perkataan Gio. "Eh, emangnya nggak ngerepotin? Kasian Papa sama Mama, Mas," sahutnya pelan.
"Mama sama Papa pasti senang ngabisin waktu bareng si kembar, apalagi kan ada pengasuh yang jaga mereka. Kita jarang ngehabisin waktu berdua gini lho, Ra. So, will you say yes?" bujuk Gio dengan wajah memohon.
Setelah berpikir selama beberapa saat, Rara akhirnya mengangguk malu-malu. Gio tersenyum lebar dan membukakan pintu mobil untuk istrinya.
"Ayo. Let's make the most of it."
------
Rara dan Gio memasuki kamar hotel suite yang telah mereka pesan. Lebih tepatnya, yang telah Gio pesan.
"Ah, untungnya ada baju ganti di mobil. Gerah kalo tidur pake dress," ucap Rara saat melihat kasur yang berada di dalam kamar hotel. Gio menenteng sebuah paper bag yang berisi pakaian ganti mereka.
Gio menyeringai dan menyelipkan lengannya yang bebas di pinggang istrinya. "Kata siapa kita perlu baju? Toh nanti kita di dalam sini nggak pake apa-apa," katanya vulgar.
Rara langsung tersipu malu mendengar perkataan Gio dan menampar lengan suaminya pelan tanpa mengatakan apa-apa. Rara menjauhkan lengan suaminya yang menempel di pinggangnya dan berjalan menuju jendela yang menampilkan pemandangan kota saat malam.
Gio menghampiri Rara setelah menaruh paper bag berisi pakaian mereka di samping kasur dan memeluk pinggang istrinya, sehingga Rara tersentak karenanya.
"Kamu suka?" tanya Gio yang ikut menatap pemandangan kota malam ini yang dipenuhi cahaya lampu serta bintang dan bulan sabit.
Rara tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan kota di hadapannya. "Kata Ayah, Bunda suka banget ngeliatin pemandangan kota pas malam. Diterangi lampu, gedung-gedung jadi kelihatan indah. Bahkan kenangan pertama aku itu pas aku ngeliatin pemandangan kota di malam hari sama Bunda. Saat itu aku masih empat tahun," sahutnya tenang.
Gio terdiam sesaat. Gio berpikir mungkin Rara akan sedih karena kenangan bersama mendiang ibunya memenuhi kepalanya saat ini.
Namun Gio sebenarnya salah. Memang disayangkan bahwa ibu Rara tak lagi bersamanya dan melihat anaknya menikah dan menyaksikan kelahiran cucu-cucunya, namun kenangan pertama Rara bersama ibunya selalu membuatnya tersenyum karena itu mengingatkannya bahwa meskipun waktu yang mereka habiskan bersama terasa sangat singkat, namun di waktu yang singkat tersebut Rara dapat merasakan kasih sayang dari seorang ibu yang tak ada tandingannya. Rara memang sangat sedih, namun waktu membantunya untuk menerima kenyataan bahwa ibunya telah tiada dan dirinya harus tetap melanjutkan hidupnya dengan bahagia.
Rara menoleh ke arah suaminya. "Kalo kamu, Mas? Apa kenangan pertama kamu?"
"Hm....pas Papa ngajak aku jalan-jalan di taman pas umur aku sekitar...tiga setengah tahun?" Gio terkekeh di sela sesi berceritanya. "Aku inget banget Papa beliin aku es krim, terus ngomel-ngomel. Kata Papa, kenapa sih aku lebih mirip Mama. Papa jadi ngiri sama Mama katanya."
Rara ikut terkekeh. Memang benar. Suaminya lebih terlihat seperti orang dengan ras kaukasia, yang didapatkannya dari ibunya yang memang berasal dari Eropa.
"Oh iya," Gio berkata sambil menarik tubuh istrinya agar menghadap dirinya. Mata mereka bertemu, dan Gio menatap Rara dalam, sehingga pipi Rara bersemu karena ditatap se intens itu. Gio tersenyum saat menyadari bahwa istrinya sedang salah tingkah, dan berbisik dengan lembut di telinga Rara. "I want you. Right now."
Setelah mengatakannya, Gio menyatukan bibir mereka dan mendorong pelan istrinya hingga punggung Rara bertemu dengan permukaan ranjang, tanpa melepas bibirnya dari bibir Rara dan tangannya bergerak untuk melepaskan kain yang masih menempel di tubuh istrinya, sedangkan Rara hanya bisa mengikuti permainan suaminya.
-------
Rara terbangun karena suara ponselnya yang sedang berdering. Rara mengambil ponselnya yang berada di nakas dan melirik nama pemanggilnya sebelum melirik ke sudut layar ponsel untuk melihat pukul berapa ini.
Rara sebenarnya masih merasa kelelahan karena kegiatan tadi malam yang dilakukannya bersama suaminya cukup menguras tenaganya. Namun karena ia cukup sensitif dengan suara nyaring saat tertidur, mau tak mau ia pun terbangun.
Rara mengerutkan keningnya. Mengapa kakaknya menghubunginya saat pukul 4 pagi?
"Siapa itu?" tanya Gio yang ikut terbangun karena suara ponselnya yang berdering.
"Kak Elin, Mas," sahutnya kepada suaminya sebelum menerima panggilan dari kakaknya itu dan meletakkan ponselnya di telinganya.
"Kenapa, Kak, nelpon subuh-subuh gini?"
Terdengar isakan dari seberang. Rara pun menjadi khawatir. Berbagai pikiran negatif mulai memenuhi kepalanya. Rara pun menggigit bibirnya.
"Ada apa, Kak? Jangan bikin aku panik, dong."
Mendengar jawaban kakaknya yang disertai dengan suara serak dan isakan, rasanya dunianya runtuh saat itu juga.
"Ayah, Ra. Ayah. Ayah udah nggak ada."
******
Huaaaa sekali lagi maafkan saya yang uploadnya baru aja setelah sekian lama😭😭. Terima kasih yang masih menunggu kelanjutan cerita ini🥰

KAMU SEDANG MEMBACA
Never Forget You [2]
RomanceBahkan setelah anak-anak mereka lahir, Gio masih menemui Mira dan Rara mengetahuinya. Rara semakin ragu untuk mempertahankan pernikahan mereka, terlebih seseorang dari masa lalunya kembali ke hidupnya, dan membuat hatinya selalu bertanya-tanya. Siap...