"Ayah, Ra. Ayah. Ayah udah nggak ada."
Setelah mendengar kakaknya berkata begitu, ponsel Rara terlepas dari genggaman tangannya dan terjatuh ke kasur. Pandangan matanya menjadi kosong.
Gio yang melihat perubahan ekspresi istrinya itu pun kebingungan. Mendengar suara isakan yang berasal dari ponsel Rara karena panggilan dengan Elin belum diputus, Gio mengambil ponselnya dan menyodorkannya kepada Rara sambil mengelus pelan bahu Rara yang terbuka.
"Ra, kenapa? Nggak dilanjutin ngobrolnya?"
Bukannya mengambil ponselnya, yang terjadi malah air mata mengalir dari mata Rara dan istrinya menangis terisak-isak. Gio semakin bingung dan memilih untuk berbicara sendiri dengan kakak dari Rara.
"Ada apa?"
"Hah? Sekarang kalian ada dimana?"
"Kami langsung kesana."
Gio langsung panik dan memeluk istrinya sebentar dan mengelus kepalanya. "Ayo kita ke rumah Ayah."
Mereka langsung bersiap-siap untuk pergi. Gio merangkul bahu Rara yang sedari tadi tak bisa mengatakan apapun.
Bahkan dalam perjalanan pun, yang terdengar hanya lah isakan Rara. Gio sesekali menggenggam tangan Rara, berharap dirinya bisa memberi kekuatan kepada istrinya ini.
Gio ingin sekali menenangkan Rara, namun ia tak tahu harus berkata apa. Dia takut kalau dirinya mengatakan sesuatu, dirinya hanya memperparah keadaan sehingga Rara malah semakin sedih.
Mereka akhirnya sampai di kediaman keluarga Rara. Rara segera masuk dan menatap ayahnya yang telah terbaring tak bernyawa. Air matanya semakin deras mengalir, sehingga Gio menarik istrinya ke dalam pelukannya.
Gio mengelus pelan kepala Rara. "Kamu ganti baju dulu, ya?"
Setelah mengatakan itu, Gio melepas pelukannya dan Rara mengganti pakaiannya. Gio juga mengganti pakaiannya, yang untungnya dibawakan oleh ibunya yang telah dihubunginya sebelum perjalanan ke rumah keluarga Rara.
Setelah berganti pakaian, kakaknya akhirnya muncul di hadapan Rara dan memeluk adiknya secara spontan. Isakan kembali terdengar dari keduanya.
"Ayah...meninggal, Ra. Itu semua...tiba-tiba. Ayah jatoh di dapur...dan tadi...tadi dokter ngelakuin....tes darah," kata Elin terbata. Namun ia tetap melanjutkan ceritanya. "Dokter...nyari tau...penyebabnya."
Rara hanya terdiam dan air matanya terus mengalir. Rara tak ingin mengatakan apapun sekarang.
Bahkan selama prosesi pemakaman, Rara tidak dapat mengatakan sepatah katapun. Bahkan saat orang-orang menyampaikan belasungkawa mereka, Rara hanya mengangguk dan tersenyum. Matanya bengkak karena menangis.
Apalagi saat melihat tubuh ayahnya yang dikuburkan, air mata Rara kembali menetes. Gio selalu berdiri di samping Rara dan merangkul pinggangnya, berusaha memberi tahu bahwa dirinya selalu ada untuk istrinya itu.
Setelah prosesi pemakaman selesai dan mereka telah kembali ke rumah keluarga Rara, akhirnya Rara angkat suara dan tersenyum tipis kepada suaminya. "Malam ini aku nginep disini."
Perkataannya bukan terdengar seperti meminta izin, melainkan lebih terdengar seperti pernyataan. Gio pun hanya mengangguk mengiyakan, karena dirinya berpikir Rara ingin bersama para saudaranya.
"Aku nginep disini juga, ya? Nanti biar anak-anak aku bawa ke sini. Atau anak-anak nanti biar ditinggal sama Papa dan Mama," kata Gio, namun Rara menggeleng kuat.
"Nggak usah, Mas. Kamu nemenin anak-anak aja di rumah," sahut Rara pelan.
Saat hari semakin malam, Gio akhirnya pulang. Gio sebenarnya tadi kembali menawarkan diri untuk ikut menginap, namun lagi-lagi ditolak oleh istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Forget You [2]
RomansaBahkan setelah anak-anak mereka lahir, Gio masih menemui Mira dan Rara mengetahuinya. Rara semakin ragu untuk mempertahankan pernikahan mereka, terlebih seseorang dari masa lalunya kembali ke hidupnya, dan membuat hatinya selalu bertanya-tanya. Siap...