Part 11

2.5K 128 15
                                    

Rara menatap pantulan dirinya di cermin. Dress pink yang dipilihkan oleh Gio untuknya memang sangat cantik.

Rara menahan dirinya untuk tak melompat karena saking senangnya. Perhatian kecil dari Gio seperti ini membuatnya bahagia.

Meskipun dirinya juga tak tahu hati Gio sebenarnya untuk siapa.

Rara sempat berpikir kalau Gio tak akan membawanya ke pernikahan tersebut. Mungkin saja Gio enggan pergi bersamanya.

Meskipun dress ini cantik, tetap saja Rara merasa tidak percaya diri. Mantan kekasih Gio sangat cantik. Rara sadar banyak wanita di luar sana yang lebih cantik dari dirinya menaruh hati pada suaminya.

"Kamu udah siap?" Suara Gio membuyarkan lamunan Rara. Rara hanya membalasnya dengan mengangguk.

Gio menatap Rara dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tersenyum. "Kamu cantik," pujinya.

Rara tersipu. "Eh...kapan kita berangkat, Mas?" tanyanya malu-malu.

Gio tersenyum tipis, dan merangkul pinggang Rara. "Ayo," ajaknya, lalu menuntun Rara keluar dari rumah.

--------

"Hai, Gio," sapa Kate sambil tersenyum lebar kepada pasangan yang baru saja memasuki tempat resepsi pernikahan tersebut.

Gio membalas senyum Kate. "Hai, Kate."

Kate mengalihkan pandangannya dari Gio ke Rara. "You must be Gio's wife. Aku Kate," katanya ramah sambil mengulurkan tangan.

Rara membalas uluran tangan Kate dengan malu-malu. "Aku... Rara," sahutnya pelan.

"Gio."

Sebuah suara menyapa Gio dari belakang. Gio pun berbalik dan menemukan seorang pria yang sedang menggendong balita perempuan.

"Arya," sapa Gio balik sambil mengelus pipi balita yang merupakan anak sahabatnya tersebut.

"Yang lain pada ngumpul di sana. Lo mau gabung, nggak?" tanya Arya sambil menunjuk sekelompok pria yang duduk di dekat pelaminan.

Gio pun mengangguk. "Oh iya dong, sahutnya, lalu menoleh kepada Rara. "Kamu nggak papa kalo aku tinggal bentar?"

Rara mengangguk. "Nggak papa kok, Mas."

Gio pun melangkah menuju teman-temannya, sedangkan Rara pergi ke meja prasmanan.

"Wah, gue kira Gio nikahnya sama Mira loh." Rara menegang saat mendengarkan sebuah suara wanita yang tak jauh darinya.

"Iya. Dulu kan dia tergila-gila banget sama Mira. Bahkan Hana yang lebih baik dari Mira aja dulu ditolak Gio. Eh nikahnya sama orang lain. Gue penasaran gimana istrinya. Kita kan nggak diundang ke acara nikahan mereka," sahut seorang wanita lainnya.

"Kita kan nggak akrab sama Gio. Lagian juga, meskipun keluarga Gio kaya, acaranya juga nggak segede yang kita kira. Kabarnya sih karena nikahannya direncanain cuma dalam waktu beberapa bulan."

"Apa jangan-jangan ceweknya hamil duluan ya? Gue denger istrinya baru lulus SMA pas mereka nikah."

"Ehm." Terdengar deham keras dari belakang Rara. Rara menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Freya yang sedang berdiri sambil menatap kedua wanita tersebut dengan tajam. Kedua wanita tersebut buru-buru pergi menjauh dengan malu.

Freya menatap Rara yang sedang mengambil makanan dengan lesu. Freya merasa sedikit prihatin dengannya. Freya mengenali ekspresi itu. Freya tahu Rara merasa minder, terutama apabila dibandingkan dengan Mira.

Freya mendengus pelan. Tentu saja sahabatnya itu juga bersalah. Kalau saja dulu Gio tak kesulitan untuk meninggalkan Mira, Rara tak akan merasa seperti ini. Meskipun Gio telah berhenti menemui Mira, namun Rara belum tahu itu.

"Don't take it personal. No matter what people say, you are his wife, and now he's trying his best to be the best husband for you. Jadi jangan merasa down hanya karena seseorang mempertanyakanmu," kata Freya.

"Freya, is he really in love with her?"

Freya mengedipkan matanya, tanda ia terkejut dengan pertanyaan tersebut. Bagaimana dia bisa menjelaskan perasaan Gio? Itu hanya bisa dijelaskan oleh Gio sendiri.

Freya menghela napas. "Kamu harus menanyakan itu kepada Gio sendiri. You have to hear it from him," jawabnya.

Freya tahu kalau saja dirinya memberitahu Rara apa yang ia tahu, mungkin itu akan memperbaiki hubungan mereka. Namun Freya tidak suka membagikan cerita yang bukanlah miliknya. Freya merasa itu bukan haknya.

Freya mengerutkan keningnya. "Aku sebenarnya sudah ingin mengatakan ini kepadamu sebelumnya. Ethan said you're a bright person and....quite responsive to people. Tapi saat aku bertemu denganmu, I realize you're a timid person. Kurasa itu karena kamu kurang percaya diri," Freya menghela napas, lalu kembali melanjutkan perkataannya. "But trust me, Gio tak setampan itu, sampai-sampai kamu merasa insecure."

Rara tak bisa menahan senyumnya saat mendengar kalimat terakhir Freya. Rara terkejut mendengarkan Freya yang blak-blakan.

"Kalian ngomongin apa?" Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi percakapan mereka.

"Gio, aku akan pergi. Jaga dirimu, wish you both happiness," katanya berpamitan sambil melirik Rara yang tersenyum kepadanya.

Gio mengerutkan keningnya. "Secepat ini? Kenapa?"

Freya tersenyum tipis. "Aku harus pergi ke New York. Goodbye."

"Ah, right. I forgot." Gio memberikan pelukan singkat kepada Freya. "Jaga dirimu. Jangan lakukan hal berbahaya." Freya pun mengangguk, lalu melangkah menjauhi pasangan suami istri tersebut.

Gio menoleh ke arah Rara dan memberikan tatapan bertanya. "Kalian tadi ngomongin apa?"

"Enggak kok, Mas. Cuma bahas tentang kerjaan dia aja," bohong Rara.

Gio merespon dengan anggukan, lalu menggenggam tangan Rara. Kepala Gio mendekat kepada Rara, dan ia berbisik, "Mumpung anak-anak lagi sama Mama, sekalian nge-date, yuk?"

Rara yang sedang minum pun tersedak. Memang sudah cukup lama mereka tak menghabiskan waktu berdua. Jantung Rara berdetak kencang karena gugup.

Bahkan skinship ringan seperti ini dan perkataan manis Gio saja membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Bahkan bagi Rara, meskipun hati Gio untuk wanita lain, tetap saja jantungnya berdetak untuk Gio. Memang menyedihkan, namun Rara tak memiliki kontrol atas perasaannya sendiri.

"Ra, kamu dengerin aku, nggak?"

Perkataan Gio membuat Rara menoleh ke arah Gio dan mengangguk. Gio pun merangkul pinggang Rara. "Kamu mau kemana?" tanyanya.

Rara menggigit bibirnya. "Eng...terserah aja, Mas," sahutnya malu-malu. Perlakuan manis Gio membuat Rara lupa dengan percakapan kedua perempuan yang tentang Gio tadi.

Gio menggeleng. "Jangan bilang terserah, dong. Kita bakal ngelakuin apapun yang kamu mau hari ini. I'm down for anything." Gio mendekatkan wajahnya ke telinga Rara dan berbisik menggoda, "Bahkan kalo kamu mau kita ngehabisin waktu berdua di kamar, I don't mind. Asalkan cuma ada kita berdua."

Pipi Rara memerah. "Em..." Rara menghindari tatapan Gio karena malu. "Aku pengen...nonton film, terus makan pancake di kafe yang ada di deket SMA aku dulu, terus...." Rara terdiam sebentar, sebelum akhirnya kembali bicara, "aku mau makan pasta."

Tanpa sadar Gio tersenyum lebar. "Kalo tempatnya sebanyak itu yang mau kita datengin, kita harus pergi dari sini sekarang," katanya bersemangat.

Rara pun mengangguk dengan malu-malu dan mengikuti Gio pergi.

********

Bagi para pembaca, saya menyampaikan mohon maaf sebesar-besarnya karena update nya hampir baru setahun kemudian. Harapannya semoga tahun ini cerita ini selesai, dan terima kasih untuk para pembaca yang masih menunggu kelanjutannya.^^

Never Forget You [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang