Part 6

3.2K 215 3
                                        

Gio mengendarai mobilnya menuju ke rumahnya. Luka memar di pipinya belum ia obati. Sebenarnya Mira menawarkan untuk mengobati lukanya, namun Gio menolaknya dan bersikeras untuk pulang ke rumah.

Saat sampai di rumah, Gio buru-buru berjalan masuk ke kamarnya agar tak ada pelayan yang menyadari luka memar di wajahnya. Dan untungnya, seluruh keluarganya sedang tidak ada di rumah.

Gio menatap sandal rumah yang biasanya dipakai Rara ada di depan pintu kamarnya, menandakan kalau Rara berada di dalam kamar.

Kedatangan Gio mengejutkan Rara yang sedang bermain dengan Adrian dan Adriana di kamar. Matanya membulat saat melihat luka memar di pipi Gio.

"Kamu kenapa, Mas?" tanyanya panik. Gio hanya menggeleng.

Rara pun menyadari bahwa Gio enggan membahasnya. Rara membaringkan kedua anaknya di baby box. "Aku ke bawah dulu," katanya, lalu keluar dari kamar.

Tak lama kemudian, Rara membawa sebuah nampan yang memuat baskom kecil berisi es batu yang sudah dibungkus dengan sebuah handuk, obat oles, dan segelas air putih.

Rara menyodorkan air putih yang dibawanya kepada Gio dan Gio meminumnya. Lalu Rara mengompres luka memar Gio dengan hati-hati. Setelah sekitar 15 menit berlalu, Gio berbaring dan Rara mengoleskan obat oles yang telah dibawanya.

Setelah selesai, Rara merapikan semuanya. Namun gerakannya terhenti saat Gio memegang pergelangan tangannya. "Maaf, dan terima kasih."

Rara tidak mengerti mengapa Gio meminta maaf, namun ia hanya mengangguk. "Tidur aja dulu, Mas," katanya. Gio mengangguk dan memejamkan matanya.

--------

Gio terbangun dari tidurnya saat merasakan sesuatu yang dingin menempel di pipinya. Gio memandang bingung ke arah Rara yang kembali mengompres lukanya.

"Ini udah jam berapa?" tanya Gio sambil melirik ke arah jendela yang menunjukkan bahwa hari masih terang.

Rara meringis. "Masih jam 5, kok. Katanya kalo luka memar baiknya dikompres setiap jam, jadi aku kompres lagi lukanya. Maaf karena udah bangunin kamu, Mas."

"Nggak papa, kok," sahut Gio sambil kembali memejamkan matanya.

Saat Rara telah selesai mengompres luka memar Gio, Gio menggenggam pergelangan tangan Rara. "Jangan pergi," pintanya dengan suara serak.

Rara mengerutkan keningnya. "Kenapa, Mas? Aku cuma mau beresin ini, kok."

Gio membuka matanya dan meletakkan handuk berisi es batu yang ada digenggam Rara ke dalam baskom kecil yang berada di atas nakas disampingnya.

"Temani aku berbaring," pinta Gio lagi. Rara menatap Gio heran, namun kepalanya tetap mengangguk. Rara membaringkan tubuhnya disamping tubuh Gio.

Tiba-tiba, Gio menarik Rara ke dalam pelukannya, membuat Rara membenamkan kepalanya ke dada Gio. Kemudian Gio mengecup kening Rara. Rara semakin bingung dengan tingkah Gio, namun pipinya bersemu karenanya.

Rara pun menjadi gugup. "Kamu kenapa, Mas? Tadi kepala kamu kejedot, ya?"

Gio tersenyum geli mendengar pertanyaan Rara. "Emangnya aku nggak boleh begini sama istriku sendiri?"

"Kita udah lama nggak kaya gini, Mas."

Senyum Gio luntur saat mendengar perkataan Rara yang benar adanya. Sejak dirinya kembali menjalin hubungan dengan Mira, dia mulai menjaga jarak dengan Rara. Namun itu hanya karena dirinya bingung dengan perasaannya sendiri.

Dan sekarang, Gio berjanji kepada dirinya sendiri kalau dia hanya setia kepada satu perempuan, dan perempuan tersebut adalah Rara. Gio tak ingin Mira menjadi penghalang bagi hubungannya dengan Rara.

Meskipun sudah beberapa minggu mereka tak membicarakan tentang Mira, namun tetap saja Gio masih merasa bersalah kepada Rara, terlebih saat teringat wajah kecewa Rara saat mereka bertengkar.

Rara menatap heran kepada suaminya yang sedang melamun. Rara penasaran apa sebenarnya yang sedang ada di pikiran Gio.

Rara menyadarkan Gio dari lamunannya. "Kenapa melamun, Mas?"

Gio hanya menggeleng dan mengeratkan pelukannya. Mereka berpelukan dalam keheningan untuk beberapa waktu, sampai akhirnya Rara menyadari bahwa hari sudah gelap.

Rara mengurai pelukan Gio dan bangun dari tempat tidur. "Aku mau siap-siap dulu," katanya dan meninggalkan Gio ke kamar mandi.

---------

Saat Rara dan Gio sampai di lokasi acara, suasana telah ramai. Rara dan Gio menghampiri keluarga Gio yang berkumpul di dekat panggung.

Sebelumnya, Rara menutupi luka memar di wajah Gio dengan riasan, agar orang lain tak melihat luka memarnya. Gio bahkan meminta Rara untuk tidak menceritakan tentang luka memarnya kepada keluarganya, dan Rara setuju.

"Hai, Bang!" sapa Rara kepada Aldin yang duduk bersama Ana.

Aldin tertawa dan memeluk Rara. "Mana si kembar? Ditinggal di rumah, ya?" Kemudian Aldin melepas pelukannya.

Rara memutar kedua bola matanya. "Ya iyalah. Kasian kalo mereka diajak kesini. Yang ada nanti malah pada rewel," gerutunya.

Aldin mengedikkan bahu. "Siapa tau kamu nekat bawa mereka," candanya.

Rara menggeleng bosan. "Nggak." Mata Rara menatap berbagai hidangan yang berjajar di atas meja prasmanan. "Aku mau ngambil makanan dulu."

Rara pun berlalu dari hadapan Aldin dan menuju meja prasmanan. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik lengannya pelan.

Rara terkejut dan refleks menoleh kearah orang yang menarik lengannya.

"Kak Ethan? Kenapa, Kak?" tanya Rara bingung.

"Kita bicara di luar, yuk," ajak Ethan. Matanya menatap Rara serius, membuat Rara penasaran.

Rara mengangguk. "Ayo," katanya. Ethan pun melangkah keluar dan diikuti oleh Rara di belakangnya.

Mereka duduk di kursi yang ada di taman yang ada di dekat bangunan tersebut. Rara menatap kearah Ethan. "Ada apa, Kak?" Rara memulai pembicaraan.

Ethan menghela napas berat dan membalas tatapan Rara. "Aku ngeliat Gio dan seorang wanita tadi siang di kafe, dan mereka pegangan tangan. Setelah ku selidiki, ternyata wanita itu mantan kekasihnya Gio, Mira," ungkapnya.

Rara terdiam sesaat, sehingga Ethan tak berani mengganggunya. Namun akhirnya, Rara menghela napas dan kembali angkat bicara. "Aku udah tau tentang Mira dan Gio. Aku tau kalo mereka punya hubungan."

Ethan menatap Rara terkejut. "Bagaimana...?"

Rara hanya menggeleng. "Jadi...tadi kamu yang memukul Gio?" tanya Rara. Saat Rara mendengar cerita Ethan, Rara pun mulai dapat menyimpulkan bahwa Ethan lah yang menyebabkan suaminya pulang dengan luka memar di pipi.

Ethan mengangguk. "Iya," katanya dingin.

Rara tersenyum tipis. "Lain kali, jangan pake acara tampar-tamparan, ya," katanya setengah bercanda.

Ethan menatap Rara lekat. "Kenapa kamu bertahan dengan Gio? Aku tau kalo kamu menikah dengannya untuk membantu ayah kamu, kan? Kamu tau kalo aku bisa nolong kamu, kan?"

Rara terdiam. Banyak hal berkecamuk di pikirannya. Kalau dia memilih bersama Ethan, Ethan pasti akan berusaha membantu keluarganya. Dirinya terus meyakinkan kalau dia mencintai Ethan sejak dulu. Namun selalu saja hatinya terus dihantam kenyataan bahwa dia sebenarnya tidak ingin kehilangan Ethan, namun dia tak mencintai Ethan.

Rara menginginkan Ethan sebagai seseorang yang selalu mendukungnya.

Melihat Rara yang terdiam, Ethan mampu menyimpulkan bagaimana perasaan gadis tersebut. Ethan tercekat. "Masalahnya...bukan hanya pada itu, kan?"

Rara tetap terdiam, namun matanya menatap Ethan sendu. Ethan menggeleng dan tertawa sumbang. "Kamu benar-benar mencintainya."

"Aku..." Rara menghela napas lelah. Matanya menatap Ethan dengan penuh penyesalan. "Maafkan aku, Kak."

Ethan tak mengatakan apapun dan meninggalkan Rara di taman tersebut.

Never Forget You [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang