Rara menatap ke sekelilingnya. Saat ini ia sedang berdiri di samping sebuah rak buku. Rara ingat tempat ini. Tentu saja karena tempat ini adalah tempat dimana dirinya dilahirkan dan dibesarkan, serta tempat dimana kedua orang tuanya meninggal.
Rara menatap foto keluarganya yang dipajang di dinding ruang tamu rumah keluarganya. Foto tersebut diambil beberapa saat setelah ibunya melahirkan Rio, adik bungsu Rara.
"Kak Elin?" panggilnya. Namun tak ada yang menjawab panggilannya. Rara pun melangkahkan kakinya menuju kamar orang tuanya.
Langkah Rara terhenti saat sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya. Rara pun berbalik.
Rara terbelalak saat melihat siapa yang telah menghentikan langkahnya. Sudah sangat lama dirinya tak melihat orang yang sekarang berdiri di hadapannya.
Rara mengedipkan matanya, mencoba meyakinkan bahwa apa yang dilihatnya nyata. Kemudian sebuah pertanyaan melintas di benak Rara. Apabila ia benar-benar melihat orang yang di hadapannya ini, maka dimana sebenarnya dirinya sekarang?
"Kak Dika?" cicit Rara, dan Rara langsung memeluk tubuh pria yang sangat disayanginya tersebut.
"Ini dimana, Kak? Apa ini mimpi?" tanya Rara kepada Dika. Rara sangat merindukan pria ini. Dika adalah seseorang yang selalu menyayanginya, bahkan ketika seisi dunia tak mendukungnya. Rara memang memiliki Aldin yang juga sudah seperti kakaknya sendiri, namun tetap saja Dika berbeda dengan Aldin.
Dika melepas pelukan Rara dan tersenyum lembut. "Nggak tau juga. Your afterlife, mungkin?" katanya sambil mengelus pelan kepala Rara.
Rara terdiam dan mengingat kejadian sebelumnya. Rara berada di dalam rumah keluarganya sendiri, yang kemudian terbakar. Sebelum dia kehilangan kesadaran, dirinya berada di ruangan ini.
"Jadi, aku udah meninggal?" tanya Rara lagi kepada Dika.
Dika menggeleng. "Nggak. Setidaknya, belum. Kamu masih koma di rumah sakit."
Rara mengangguk mengerti. "Hm, gitu."
Dika menaikkan sebelah alisnya. "Jadi, apa kamu ingin bercerita apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Dika.
"Rumahku terbakar, dan aku terjebak di dalamnya pas aku mau ngambil foto keluarga di kamar orang tuaku karena kakiku terkilir," sahut Rara tenang.
Dika menggeleng. "Kamu nggak bisa bohongin aku, Rara. Aku tau semuanya."
Rara mengerutkan keningnya. "Apa maksud Kakak?"
Dika menarik Rara bersamanya dan duduk di sebuah sofa yang ada di ruang tamu. Rara pun ikut duduk di samping Dika.
"Ceritakan aku apa yang terjadi sebenarnya, Rara. Kenapa kamu bertahan di dalam rumah itu, padahal kamu masih sempat menyelamatkan diri?"
Rara terdiam. Matanya menatap Dika dengan seksama. Beberapa saat kemudian, Rara pun akhirnya menghela napas dan mengangguk. "Aku emang pengen ngambil foto keluarga saat itu. Lalu saat aku ingin lari keluar untuk nyelametin diri, aku kesakitan karena kakiku yang terkilir, dan aku berpikir buat apa aku nyelametin diri aku sendiri? Apa gunanya?"
"Dan kamu bertahan di dalam rumah yang sedang terbakar karena kamu pikir orang-orang yang benar-benar menyayangi kamu, semuanya pergi ninggalin kamu? Karena ayahmu pergi menyusul ibumu, dan Ethan kembali ke London dan mungkin nggak akan kembali?" kata Dika sambil menatap Rara tajam. Rara pun menghindari tatapan Dika.
Dika menghela napas dengan kasar. "Apa juga karena kamu pikir Gio nggak mencintai kamu, sedangkan kamu mencintainya, dan kamu berpikir kalo kamu cuma menjadi duri dalam kehidupannya?"
"Ra, sebenarnya kamu lah yang menarik diri dari suami kamu. Dia selalu di samping kamu."
Rara terdiam sesaat, namun akhirnya kembali membuka suara. "Dia mencintai Mira, Kak. Aku cuma orang baru yang datang di kehidupan dia. Penghuni hati dia itu Mira."
"Apa belakangan kamu pernah menanyakan dia secara langsung tentang Mira? Atau mendengar cerita orang lain tentang Gio dan Mira? Atau melihat mereka berjalan bersama?" Dan Rara pun menggeleng, menjawab pertanyaan Dika.
"Ra, banyak orang yang menunggu kamu sadar saat ini. Mereka sedih melihat kamu yang terbaring koma di rumah sakit. Mereka berharap agar kamu cepat sadar. Kamu punya anak-anak yang masih kecil. Lalu keluarga Gio, juga Aldin, dan keluarga kamu, mereka berdoa untuk kesembuhan kamu. Bahkan Elin terus-terusan menyalahkan dirinya karena keadaan kamu yang sekarang," kata Dika sambil mengelus pelan kepala Rara.
Rara kembali memeluk Dika. "Tapi aku lelah, Kak. Mungkin lebih baik begini," katanya sedih.
"Apa cuma bisa merasakan kehadiran mereka cukup bagi kamu? Kamu nggak bisa bicara ataupun menyentuh mereka. Dan kamu nggak bisa membesarkan anak-anak kamu. Seharusnya kamu sendiri yang membesarkan anak-anak kamu. Apa itu cukup bagi kamu?"
Rara terdiam beberapa saat, lalu menggeleng. "Aku harus gimana?" tanyanya pelan.
"Keluar dari rumah ini, Rara. Sebelum semuanya terlambat," kata Dika sambil menunjuk pintu utama rumahnya. Rara pun mengangguk, dan melangkahkan kakinya menuju pintu tersebut.
--------
"Thank you, Ethan," ucap Gio kepada Ethan yang duduk di sampingnya.
Ethan menoleh kearah Gio dan mengerutkan keningnya. "Buat apa?" tanyanya heran.
Mata hijau Gio membalas tatapan pria bermata biru tersebut. "Karena udah nyelametin Rara."
"Gue ngelakuin itu bukan buat lo, tapi buat dia," balas Ethan dingin.
Gio mengangguk. "Gue tau. Tapi tetap aja, lo yang datang dan nyelametin dia. Seharusnya itu jadi tugas gue."
Ethan terdiam sesaat, namun akhirnya ia kembali berbicara. "Gue juga berterima kasih sama lo. Kalo aja lo nggak ngasih tau gue tentang ayahnya yang meninggal dan dimana dia saat itu, gue nggak akan bisa nyelametin Rara."
Gio kembali mengangguk, dan suasana pun kembali hening. Sudah tiga hari Rara mengalami koma, dan belum ada tanda-tanda bahwa dia akan sadar. Dokter mengatakan bahwa semakin lama dia mengalami koma, maka peluang Rara untuk sembuh akan semakin kecil.
Tak lama kemudian, Elin datang dan membawa beberapa botol minuman. Elin memberikan minuman tersebut kepada Ethan dan Gio. "Kalian bisa pulang. Biar aku yang jaga Rara," kata Elin.
Ethan dan Gio serempak menggeleng. "Aku disini aja," sahut Gio.
Ethan mengangguk. "Aku juga."
"Seharusnya aku nggak biarin dia balik ke dalam." Elin kembali menyalahkan dirinya. Mata Elin berkaca-kaca, dan ingatannya kembali pada peristiwa tiga hari yang lalu.
Gio menarik Elin agar duduk di antara dirinya dan Ethan. "Udah, Elin. Jangan nyalahin diri kamu sendiri," katanya, berusaha menenangkan Elin. Gio melirik Rara yang sedang berada di ruang ICU, dan ada seorang perawat bersamanya.
Tiba-tiba, seorang dokter bergegas memasuki ruangan tersebut, sehingga Gio, Ethan, dan Elin pun berdiri dan menatap Rara yang telah membuka matanya. Mereka oun menghela napas lega.
Tak lama kemudian, dokter dan perawat yang tadinya bersama Rara keluar dari ruang ICU.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Gio kepada dokter tersebut.
Dokter itu tersenyum. "Istri anda akan menjalani beberapa pemeriksaan, tapi anda sudah bisa menjenguknya. Kami permisi dulu." Dokter dan perawat tersebut pun berlalu setelah memberi informasi kepada Gio.
Gio memejamkan matanya sebentar, lalu menoleh kearah Ethan. "Temui dia, Ethan. Rara butuh lo," katanya.
Ethan memberikan tatapan heran kepada Gio, namun ia melangkahkan kakinya menuju ke dalam ruangan tersebut tanpa berkata-kata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Never Forget You [2]
Storie d'amoreBahkan setelah anak-anak mereka lahir, Gio masih menemui Mira dan Rara mengetahuinya. Rara semakin ragu untuk mempertahankan pernikahan mereka, terlebih seseorang dari masa lalunya kembali ke hidupnya, dan membuat hatinya selalu bertanya-tanya. Siap...