Karakter: Riri
.
.
.Aku baru saja sampai di salah satu mall di ibu kota. Tanpa mampir-mampir, aku langsung menuju bioskop yang ada di lantai 3. Antri sebentar, aku sudah berada di depan counter.
"Interstellar, jam 15.45." Kusebut judul film yang mau kutonton ke penjaga counter.
"Baik. Untuk berapa orang?" Tanyanya ramah.
"Satu." Jawabku singkat.
Seperti tidak mendengar jawabanku, dia bertanya lagi. "Iya?"
"Satu orang." Jawabku lebih keras.
Aku bisa lihat mbak penjaga counter sedikit kaget mendengar jawabanku, tapi dia dengan cepat mengubah ekspresinya. "Ah, baik. Mau pilih kursi yang mana?"
"Yang ini." Kutunjuk kursi di deretan tengah yang paling dekat dengan jalan.
"Baik."
Dan prosesi mendapatkan tiket pun dilanjutkan dengan transaksi uang.
Kutengok jam. Masih 14.30. Masih banyak waktu sebelum film dimulai. Kuputuskan untuk ngemil dulu, lagipula aku punya voucher ayam goreng gratis yang kudapat dari promo di Line. Aku pergi ke lantai 1, ke salah satu restoran cepat saji yang menyediakan promo itu.
Karena sudah lewat makan siang, aku bisa dengan cepat dapat menu yang kuinginkan. Satu mango float, satu cream soup, dan satu ayam goreng gratis dari promo. Lumayan buat mengganjal perut sebelum nonton sambil membunuh waktu.
Kupilih tempat duduk di pojok. Entah kenapa itu jadi kebiasaanku. Aku merasa aman kalau aku tak terlihat, kalau aku berada di posisi yang tak mengharuskanku berinteraksi dengan banyak orang. Seperti sekarang, orang yang lalu lalang di luar restoran tak kan bisa melihatku. Bahkan hanya orang-orang yang duduk sebaris denganku di restoran yang bisa leluasa melihatku. Saat memilih kursi menonton pun aku memilih kursi yang paling pinggir yang paling dekat dengan jalan, meski sebenarnya best view nya adalah yang berada di tengah. Aku tak mau terjebak di antara orang-orang lain yang menonton.
Jadi terpikir, memangnya salah kalau menonton film di bioskop sendirian? Mbak penjaga counter tadi kelihatan kaget waktu tahu aku nonton sendirian. Sama seperti sekarang, ada gadis-gadis yang duduk sebaris denganku yang melihat ke arahku. Dari pandangannya aku bisa tahu kalau dia bilang, "Kasihan ya makan sendirian."
Hahaha.
Biarkan sajalah. Aku memang perlu me time.
Kadang kita kan memang perlu waktu berkualitas untuk diri sendiri. Diisi dengan kegiatan yang membuat diri sendiri senang. Jadi seharusnya tak perlu merasa canggung.
Selama ini aku selalu ditemani Winda. Kemana-mana sama Winda. Jadi makan sendirian sekarang terasa cukup sepi. Tapi kali ini aku sedang tak mau mendengar kehebohan Winda. Aku perlu ketenangan. Capek sama yang ribut-ribut. Sudah cukup di rumah disindir-sindir karena rankingku yang tak kunjung naik, padahal kata guruku ranking hanya salah satu alat pengukur prestasi yang sebetulnya tidak bisa dijadikan patokan karena kemampuan tiap siswa berbeda-beda sehingga tidak bisa dibandingkan. Ah, tapi bapak dan ibu sudah biasa membanding-bandingkan orang, itu sudah watak, susah diubah.
Kulanjutkan makanku, sambil berkata dalam hati. Gapapa Ri, kasih apresiasi buat diri lo sendiri. Lo udah keren bisa ngelewatin kelas dua yang super pusing ini.
Ya, kelas dua yang baru saja kulalui memang cukup menguras pikiran dan hati. Pertama, karena materi pelajaran yang makin sulit. Kedua, karena hal-hal lain di luar KBM yang menyita emosi, salah satunya Royyan. Ah, kenapa jadi ngomongin Royyan. Udahlah.
Aku lihat jam di tanganku. Sudah 15.10. Aku harus buru-buru pergi ke mushola untuk sholat Ashar, sebelum penuh. Untungnya mushola nya satu lantai dengan restoran tempatku makan.
Selesai sholat, aku pun naik lagi ke lantai 3. Siap untuk nonton film.
Sudah bisa diduga, orang-orang yang menonton umumnya datang berpasangan atau berkelompok. Sepertinya cuma aku yang nonton sendirian.
Biar aja, cuekin. Lagipula setelah lampu dipadamkan dan film dimulai, kehadiran orang-orang di sekeliling jadi tak penting.
Kunikmati film dengan khidmat. Aku selalu suka film yang menggabungkan sains dan fiksi seperti Interstellar ini. Mungkin karena aku anak sains, aku jadi merasa film dengan genre seperti ini keren.
Tapi plotnya memang menarik. Bagaimana Cooper harus pergi meninggalkan putrinya, Murph, untuk ekspedisi ke luar angkasa mempelajari kelayakan beberapa calon planet di saat bumi sedang krisis. Keputusan Cooper mengecewakan Murph. Dia merasa ditinggalkan.
Aku tak menyalahkan Murph. Aku tau bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang disayangi. Sakit.
Aku sempat menangis saat adegan Muprh akhirnya bertemu kembali dengan ayahnya.
Kisah Cooper dan Murph meyakinkanku bahwa cinta mampu menggabungkan gravitasi sebagai kekuatan yang beroperasi melintasi bermilyar jarak, melewati dimensi waktu.
Aku tersenyum di akhir film. Ah, happy ending yang menyenangkan, apa kisah cintaku juga akan seperti itu?
Hahaha. Aku tertawa miris. Tak perlu muluk-muluk berpisah jarak dan waktu. Berbeda kelas bahkan masih di sekolah yang sama nyatanya memang mampu menjauhkan kami. Ah, kenapa arah pembicaraannya jadi ke situ lagi?
Selesai film dan lampu dinyalakan kembali, aku langsung berjalan ke pintu keluar.
Tak disangka-sangka, ternyata ada seseorang yang nampaknya kukenal. Di saat yang bersamaan, dia juga melihatku.
Kami pun sama-sama bereaksi.
"Riri?"
"Pram?"
Hatiku langsung berdegup kencang. Bukan karena orang yang baru saja kutemui, tapi lebih kepada kemungkinan kalau ketemu Pram pasti juga ketemu sahabatnya yang tidak lain adalah.... Royyan.
"Sama siapa?" Tanya Pram padaku.
"Sendiri." Jawabku pelan.
Dia kelihatan kaget sebentar, tapi kemudian senyum. "Kirain sama Winda.."
"Ah, enggak.. Lo?" Tanyaku ragu-ragu, memastikan kemungkinan yang kupikirkan tadi.
"Gue juga sendirian. Hahaha." Jawabnya sambil tertawa garing.
Entah bagaimana hatiku mencelos. Entah lega atau kecewa dia pergi menonton tidak bersama Royyan.
"Lo tadi dimana? Kok gue ga lihat." Tanya Pram.
"Gue di F." Jawabku sambil berjalan di sisi Pram menyusuri koridor bioskop.
"Ah, gue di G. Pantes ga lihat lo."
Aku cuma tersenyum, tidak tahu harus membalas apa. Meski pernah dekat dengan Royyan, aku tak begitu dekat dengan sahabat-sahabatnya. Meski pernah satu Paduan Suara dengan Pram, tapi aku tak pernah sekelas dengannya. Bertemu dengannya tiba-tiba seperti ini jadi terasa agak canggung.
"Kebetulan banget ya ketemu di sini. Ah, harusnya Royyan ikut sih. Tadi gue ajakin, dia ga mau." Kata Pram melanjutkan obrolan.
Aku tersenyum. Mungkin ini bukan kebetulan. Bahkan hantu yang dikira Muprh selalu mengganggunya itu ternyata adalah ayahnya yang berusaha berkomunikasi melintasi ruang dan waktu. Tidak ada yang kebetulan. Sama seperti hari ini, bukan kebetulan Royyan menolak waktu diajak Pram nonton. Aku tak ditakdirkan untuk bertemu dengannya hari ini. Kurasa, aku memang tak berjodoh dengan Royyan.
"Ri, lo mau langsung pulang atau --"
"Sholat dulu." Jawabku bahkan sebelum Pram menyelesaikan kalimatnya.
Dia senyum. "Sip. Yok ke sana bareng."
#bgm: Bolbalgan4 - Galaxy
.
.
.A/N: mungkin kamu berjodohnya sama Pram, Ri #eh
KAMU SEDANG MEMBACA
daybreak stories
Fanfictionkumpulan one shots kehidupan "Everyone has their own story but somehow entangled to one another"