Fragmen 13

163 15 0
                                    

Kita menerjang, menyerang, membabi buta, meloncat, menari lincah, berputar-putar, bertingkah gila seperti orang hilang akal tapi kita berdua sama-sama sadar.

Cara bertarung kita terkendali, teratur, dan terlatih.

Aku putarkan senjataku yang panjangnya hampir—dan bahkan bisa lebih dari—2 meter ini. Memutarkannya seperti kincir melalui jari-jari tanganku. Memusnahkan Sandekala sebanyak mungkin yang aku bisa. Yang lain termasuk kau tak berani dekat-dekat denganku. Takut terkena tebasan mata pedangku.

Kau bertarung di sebelahku. Jaraknya cukup jauh. 7 meter dariku. Senjatamu memang tak sepanjang milikku—1.5 meter ukurannya—tapi lebih lebar dariku.

Senjatamu meliuk-liuk seperti keris atau seperti ular piton. Kau pasang senjata itu di lengan kananmu. Menutupi seluruh lenganmu. Terlihat seperti Cyborg yang memiliki sebelah lengan baja bermata pedang.

Kau bertarung lebih baik dariku. Dengan lihai kau menari dengan senjatamu.

Seperti menuruti keinginanmu, senjata itu tidak terlihat berat dan ribet. Senjata itu mudah kau kendalikan seperti telah berlatih berbulan-bulan hingga akhirnya bisa menggunakannya selihai itu, padahal baru sekarang kau coba menggunakannya.

Aku melihat yang lainnya di belakang kita. Mencoba bertarung lebih cepat tapi tetap tak bisa melampaui kecepatan kita.

Tapi aku kagum, mereka langsung bisa membaca situasi. Mengikuti gerakan kita, mengendalikan senjata mereka dengan mudah dan tak butuh waktu lama untuk menyuruh senjata mereka masing-masing bergerak sesuai dengan kemauan tuannya. Aku tak menduga mereka dapat menguasainya secepat itu. Aku akui memang senjata kita ini terasa ringan dibanding kelihatannya. Tapi bukan hanya itu alasannya. Ada alasan lain dan itu belum aku ketahui.

Aku terus maju.

Menghabiskan semua Sandekala yang ada di hadapanku.

Lebih cepat darimu.

Lebih cepat dari yang lain.

Aku bahkan hampir menembus anak sungai ketiga.

Aku menoleh lagi ke belakang. melihat jalurku kosong di antara kerumunan iblis seperti dinding hitam yang dipoles segaris kuas bercat putih.

Aku sudah memusnahkan lebih dari 600 Sandekala dalam waktu semenit. Dan aku kira aku bisa melakukannya lebih banyak dari itu.

Aku belum lelah dan hal yang sangat kentara aku lihat adalah kita bertarung di tanah lapang. Bebas dari pohon—hanya satu dua yang masih berdiri. Aku yakin aku bisa mengalahkan mereka semua di tempat ini sendirian tanpa bantuan dari orang lain. Atau aku bisa membiarkanmu bertarung sendirian tanpa rasa khawatir karena kini aku merasa ini adalah hal yang mudah.

Meski optimis, tapi aku tidak mau merasa senang dulu. Aku tidak ingin kecewa di akhir kisah. Lagi pula para Sandekala itu belum berusaha menyerangku—menyerang kita. Mereka hanya berjalan lurus seakan rela tubuh mereka kita tebas. Atau mungkin mereka masih belum beradaptasi. Belum bisa bergerak cepat menggunakan sabit mereka untuk membunuh kita. Ini baru hari pertama musim panas, harusnya aku ingat itu.

Kau beberapa meter di belakangku.

Menyusulku.

Wajahmu terlihat seperti tak mau kalah denganku. Kau sesaat memandangku. Wajahmu terlihat lebih cerah dan berseri sekarang. Tidak terlihat terlalu dingin seperti tadi.

Aku menyunggingkan senyum kepadamu.

"Jangan lengah! Ingat janjimu!" sahutmu.

Aku menoleh ke depan dan ke samping kiriku. Mereka mulai mengepungku dengan gerakan lambat seperti sekawanan burung merpati yang minta diberi makan.

Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang