Fragmen 25

97 11 0
                                    

"Kita semua telah salah. Parmoun mengatakan kejujuran padaku," ucap nenek pada kita.

Dia mengelus Linggis Stick—tongkat emas yang dipenuhi bebatuan berwarna-warni yang dia gunakan sebagai senjata untuk mengalahkan Sandekala yang masuk ke desa selama ini.

"Kejujuran apa, Nek?" tanyaku.

"Para Sandekala itu sejak awal bisa masuk dan keluar sesuka hati tanpa melalui portal. Parmoun bilang bahwa gua di hulu sungai adalah pintu di mana mereka bisa masuk dan keluar," ujar nenek.

"Tapi, Nek. Bukankah kami pernah pergi ke hulu sungai dan membantai mereka di sana. Kami tak menemukan adanya pintu atau apa pun di gua itu. Dan nenek pula mengatakan bahwa gua itu adalah persembunyian Sandekala yang tersisa selama ini," sangkalku.

"Hanya para Sandekala yang bisa membuka dan menutup pintu dua dunia atau mungkin makhluk gaib lainnya di sana."

"Maksud nenek?" heran Shen.

"Kakekmu bilang selama ini bukan hanya Sandekala yang keluar dari dunia Keikai. Tapi segala iblis bahkan arwah gentayangan. Tapi mereka tak mengganggu kita selama kita tak mengganggu mereka. Hanya Sandekala yang selama ini mengganggu kita. Sedangkan hal lain—segala penampakan yang berada di hutan hitam—tak lain berasal dari sana."

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang untuk melenyapkan mereka?"

"Tak ada yang bisa menutup portal gaib di gua itu. Selama air masih mengalir di dalamnya, mereka akan bebas keluar dan masuk ke dunia kita. Parmoun mengatakan hanya ada satu cara. Yaitu mengalahkan sang Raja. Jika Raja dari mereka musnah, otomatis seluruh Sandekala akan lenyap."

Kurasakan tubuhmu menegang seakan tersentak saat kau mendengar nenek membahas sang Raja.

Apa kau pernah bertemu dengannya?

Waktu itu?

Saat kau mengadakan transaksi untuk menghidupkan kami yang telah mati saat pertama kali kita berperang melawan mereka?

Raut mukamu menajam, emosi mendengar hal itu. Sebuah memori yang menyakitkan teringat olehmu dan aku tidak mungkin menanyakannya lagi. Satu saja yang kuharap—kuatlah! Jangan menyerah jika memang benar kau ingin mengalahkan sang Raja.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyamu.

"Masuk ke dunia Keikai dan mengalahkan sang Raja di sana. Kalian masuk ke sana melalui portal 4 Kristal yang terdapat di bangunan keramat. Tapi, ada hal lain yang harus kalian lakukan terlebih dahulu. Mencari keempat batu Kristal tersebut," ujarnya.

"Apa? Jadi batu itu tidak berada di nenek?" tanyaku.

"Aku hanya punya satu. Batu Kristal biru yang kau pasang pada senjata temanmu. Dan 3 batu lainnya berada di tempat berbahaya."

"Tempat berbahaya?" heran Shen.

"Batu-batu Kristal itu memiliki kekuatan yang besar dan sejak ibumu terbebas dari kutukannya, aku telah berjanji tak kan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam portal meskipun aku ragu bakal membutuhkannya suatu saat nanti. Keempat batu tersebut memiliki kekuatan yang berbeda. Dan hanya batu Kristal biru yang memiliki kekuatan positif untuk melindungimu dari serangan Sandekala. Sedangkan ketiga batu lainnya memiliki energi kegelapan yang mampu meningkatkan kekuatan para iblis."

"Lalu, di mana ketiga batu Kristal lainnya?" tanyamu tak sabar.

"Aku menaruhnya di tiga wilayah yang dijaga oleh tiga makhluk penghuni hutan hitam. Ketiga makhluk ini telah menyatu dengan Kristal itu. Mereka tidak mengganggu, tapi, jika kita mengambil batu tersebut, mereka bisa menjadi sangat berbahaya. Tak ada cara lain selain bertarung dengan mereka untuk mendapatkan batu Kristal tersebut. Kalian tak akan bisa mengalahkan mereka hanya dengan senjata dari logam kemenangan. Kalian harus bisa mengeluarkan Kinzoku Light dari senjata baru kalian serta strategi untuk mengalahkan ketiga makhluk penjaga yang salah satunya adalah makhluk hidup. Dan cara itu saja tidak cukup. Salah satu dari mereka, dapat melakukan sihir."

"Di mana letak ketiga wilayah itu, Nek?" tanyamu sedikit memaksa. Tak ingin bertele-tele lagi dengan nenek.

Nenek menatapmu lekat-lekat. "Satu hal yang harus kau tahu dalam rencana kali ini. Jangan bertindak sendirian, Danny! Hal ini tak bisa dilakukan sendirian olehmu! Apalagi jika kau ingin mengalahkan sang Raja. Kau tak akan bisa mengalahkannya sendirian!"

Kau mengangguk pelan mengiyakan.

"Masih banyak waktu sebelum musim panas hari terakhir tiba. Kemarilah besok bersama seluruh orang yang kalian ajak. Aku kali ini tak ingin main-main lagi. Kalian harus kuat dan membawa orang-orang kuat, dan kali ini, seperti yang telah aku bilang—harus mengorbankan masa depan kalian," ujar nenek. "Sekarang, pulanglah!"

Kau dan Shen keluar dari rumah setelah berpamitan tapi aku masih menatap nenek sesaat.

"Apa yang sedang Nenek pikirkan? Apa ada masalah?" tanyaku.

Aku tahu ada yang tak beres. Pasti menyangkut hal yang nenek bicarakan dengan Becky. Aku melihat kegetiran di wajah nenek yang makin keriput.

Nenek tak menjawab.

Hanya mendekatiku.

Dia memelukku sesaat.

"Kau tampak kurus. Apa kau makan dengan teratur? Pulanglah, istirahatlah yang cukup. Jangan bekerja terlalu keras. Nikmati masa mudamu selagi ada kesempatan," katanya.

Sungguh ucapan nenek terasa begitu janggal. Tak biasanya dia peduli dengan kesehatanku. Biasanya, dia selalu marah waktu aku tinggal bersamanya. Mungkin memang ada sesuatu dan nenek tak ingin membicarakannya denganku.

Aku pun pamit pada nenek dan hendak pulang ke rumah yang aku tinggali bersama Ian.

Aku naik motormu. Dibonceng olehmu. Jalanan desa tampak terang, keadaannya kini lumayan berubah. Nenek menerima kemodernisasian di desanya seperti listrik dan bangunan beton. Tapi, selama ini, dari dulu hingga hari ini, dia tetap melarang desa tersebut mengalami perubahan yang signifikan. Padahal desa di sebelahnya sudah jauh lebih modern.

Aku memeluk tubuhmu erat.

Hangat.

Rasanya tak ingin aku lepaskan.

Sedari tadi Shen terus curi-curi pandang. Mungkin cemburu melihat kemesraanku denganmu meski kau kini tampak kaku terhadapku.

Di perempatan jalan itu tiba-tiba kau berhenti.

"Ada apa?" tanyaku heran.

Kau tak menjawab pertanyaanku, malah menatap Shen di sebelahmu dalam-dalam.

"Shen, bisa kau antar Shanty pulang?" pintamu. Membuatku terkejut bahkan Shen ikut terbelalak.

"Danny, apa maksudmu?" tanyaku tak percaya. Sebelum aku berkata lagi kau keburu memotong.

"Shan, hari ini aku lelah, aku ingin segera pulang dan istirahat."

"Tapi kan—"

"Di rumah ibuku," ucapmu memotong perkataanku lagi.

Aku mengembuskan napas. "Baiklah," aku tidak ingin mendebat hal ini meski sebenarnya aku merasa kesal dengan sikapmu. Mungkin memang benar kau kelelahan tapi rasanya aneh saja. Ketimbang menyuruh Shen mengantarku kenapa kau tidak mengajakku menginap di rumah ibumu atau kaulah yang menginap di rumah Ian. Bukankah jalur yang kita lewati sama?

Aku menurut saja padamu. Kau mungkin ingin sendiri saat ini. Aku menerimanya.

Setelah aku turun dari motormu, kau menancap gas dan pergi tanpa mengucapkan selamat malam padaku.

"Shan, ayo kita pulang! Sudah malam!" ajak Shen girang.

Aku mendelik menatap wajahnya yang sedang nyengir ke arahku. Sekali lagi, aku menghembuskan napas berat. Huft ....

"Ayolah! Percepat jalannya! Jangan jadikan ini kesempatan untuk berdua-duaan denganku," ucapku sebal.

Di malah terkekeh riang. "Pegangan yang erat, aku tidak akan tanggung jawab jika kau jatuh."

***




Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang