Fragmen 38

314 29 4
                                    

Sudah waktunya kita bergerak.

Aku tidak tahu di mana nenek berada. Sebelumnya dia bilang akan ikut serta dalam pencarian batu Kristal merah tetapi nenek malah pergi ke suatu tempat dan menyuruh kita mencari batu Kristal merah tanpa menunggunya.

Kita semua telah memasuki hutan hitam sejak tadi pagi. Becky sedari tadi tampak murung tapi aku berusaha untuk tidak memikirkannya.

Senja telah tiba.

Keheningan tercipta di tengah hutan belantara.

Kita tiba di kaki gunung Transfranssischo dan berdiri di pinggiran sungai kalem tanpa dasar. Memandangnya sejenak sebelum akhirnya kita mulai bergerak.

"Sungai ini terlalu luas. Jadi, di mana letak pasti batu itu?" tanya Shen.

Semua memandang Becky yang berkonsetrasi mencari keberadaan Kristal tersebut.

"20 meter dari arah air terjun," ucapnya.

"Itu ... di sini," ucapku. Kita semua berdiri di tepi sungai yang lebarnya 10 meter.

Suara kendang mulai bertalu dan sungai kalem mulai berubah sepekat tinta.

"Aku akan menyelam. Kalian perhatikan sekitar. Jangan sampai lengah!" ucapmu.

Dengan bertelanjang dada kau menceburkan diri ke sungai kalem. Menyelam kekedalaman.

"Apa yang harus kita lakukan dengan Anak-Anak Sungai itu?" tanya Nora.

"Tak ada pilihan lain. Kita tenggelamkan sebelum mereka mencapai desa," ujarku.

Suara kendang semakin nyaring dan dapat kulihat Anak-Anak sungai itu menaiki rakit, turun dari hulu sungai di gua, dan terjun ke dalam sungai kalem. Mereka tetap mematung, tak terjatuh sedikit pun dari rakit mereka.

Flo mengangkat Bing Bag-nya. Menghantamkannya ke rakit-rakit itu hingga hancur. Anak-Anak Sungai akhirnya tenggelam ke kedalaman tak berdasar.

Bayang-bayang kelam mulai berdatangan menyesaki setiap celah di antara pepohonan yang ada.

Anak-Anak Sungai, aku serahkan pada Flo. Sementara kami yang tersisa mulai mengangkat senjata dan menghancurkan bayang-bayang kegelapan itu dari muka bumi.

Suara kendang bertalu-talu mengiringi pedang kami yang tengah menari menumpas habis para Sandekala.

Waktu menunjukkan pukul setengah lima.

Matahari menjingga.

Para Sandekala mulai semakin agresif dalam bertarung.

Mereka mengangkat sabit besar berkarat yang dipenuhi cairan kehitaman.

Mata biru menyala.

Mulut menyeringai seakan menantang kita.

Aku berputar, menari di atas bebatuan, meloncat dengan lincah di antara dahan pepohonan yang menyesaki daratan, berderet berdampingan. Amunisi dari senjataku memberondong tanpa henti. Satu, sepuluh, seratus ... para sandekala dengan mudahnya musnah. Tapi, aku tak mengerti, kenapa mereka semua terus tersenyum seakan mereka yakin akan memenangi pertempuran ini.

Nora memposisikan senjatanya seperti busur panah, kemudian dia tembakkan ke sekeliling. Ledakan demi ledakan membombardir, membunuh keheningan yang sebelumnya hinggap di tempat ini.

Shen seakan tak mau kalah, dia bertarung penuh gaya dengan tingkah konyol, menebas-nebas Sandekala secepat kilat, bahkan hingga berjongkok, dan berguling-guling di tanah saat senjatanya difungsikan sebagai peluncur bom. Sedari tadi dirinya terus mencuri pandang berharap aku memperhatikan gaya bertarungnya. Dan itu sangatlah menggangu konsentrasiku.

Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang